Genre : Romance, Action, family
Length : 18 page
Rated : 16+
Main Cast : Henry Lau, Natsumi, Marcus, etc.
Author : Yoshioko Kawazoe
Disclaimers : This FF is an ordinary imagination from my mind. :D No Plagiat!!
Chapter 1
Gadis itu berjalan di
sepanjang koridor yang didominasi dengan warna putih dan lukisan klasik khas
berbagai Negara menghiasi setiap jengkal dinding itu. Sebelah kakinya sedikit
menyeret dan keseimbangannya agak goyah ketika ia meletakkan kaki kiri ke atas
lantai marmer yang berkilat dan licin. Gaun mewah bermotif bunga sakura
berwarna putih dan topi kecil merah muda bertengger indah di puncak kepala
gadis itu, melengkapi penampilannya yang anggun namun berkesan klasik.
Wajah gadis itu sangat
cantik. Mata birunya memancarkan cahaya redup. Kulit putihnya seolah semakin
terlihat bersinar di bawah naungan lampu Kristal mewah. Dan rambut panjang
hitamnya yang lurus tergerai begitu saja, bergoyang mengikuti gerakan angin
yang berhembus dari arah sebelah kiri tepat dimana terdapat jendela kaca besar.
Umur gadis itu masih 17 tahun. Usia yang
terlalu muda untuk seseorang yang sudah menikah.
“Mau kemana kau?”
Sebuah suara menghentikan langkah kakinya. Gadis itu terkesiap dan membalikkan
badan dengan cepat.
“Kau tidak berencana
untuk kabur, bukan?” Suara tennor seorang pria terdengar semakin dalam. Pria
dengan tubuh tinggi, kulit putih dan mata biru yang indah. Ia mengenakan jass
putih dipadu dengan dasi pink bercorak garis-garis yang membuat penampilannya
semakin menawan.
“Ti…tidak. Aku hanya…aku
hanya….mmm…” ucap gadis itu terbata. Ia bingung harus mengatakan apa. Ia harus
mencari alasan yang masuk akal untuk menghindari pertanyaan yang akan
memojokkan dirinya dari pria ini. Pria yang selama ini selalu mengawasinya
kemanapun ia pergi.
“Aku hanya ingin ke
toilet,” sambung gadis itu akhirnya. Kemudian untuk lebih menyakinkan ia
berpura-pura memegangi perutnya. “Sepertinya aku kebanyakan makan. Perutku
sakit.”
Pria itu memandang
wajah gadis itu sambil mengerutkan kening. Memandanginya dari ujung wajah
sampai kaki kemudian kembali lagi ke wajah.
“Benarkah?” sahutnya
tak percaya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Tapi selama
aku memperhatikanmu tadi, kau sama sekali tak terlihat memakan sesuatu. Kau
benar-benar terlihat tak berselera makan. Aku yakin itu.”
Gadis itu memutar bola
matanya malas dan mendengus. “Kau tidak percaya padaku?”
Pria itu menggeleng
kemudian menyahut. “Wajahmu sama sekali tak terlihat meyakinkan. Terlalu mudah
di tebak.”
Pria dengan jas putih
itu mulai berjalan mendekat. Membuat gadis itu bereaksi cepat. Ia mundur
beberapa langkah.
“Mau apa kau? Jangan
mendekat!” teriak gadis itu gugup.
“Aku tidak mau apa-apa.
Diamlah disitu,” jawab pria berambut pirang itu santai. Ia terus melangkah
perlahan mendekati posisi gadis itu berdiri. Gadis itu sontak melangkah mundur
lagi.
“Sudah kukatakan jangan
bergerak. Apa kau tak punya telinga, eoh?”
“Memangnya kau mau apa?
Kenapa pula aku tak boleh bergerak?!” pekik gadis itu kesal.
Ia tetap bergerak
mundur. Perlahan ia menggeser kakinya ke belakang tanpa menoleh dan tiba-tiba….
GUBRRAAAKKSS
Gadis itu terjatuh
sempurna dengan posisi terlentak dan kaki ke atas.
“Ck! Kan sudah kubilang
jangan bergerak! Kau itu bodoh atau apa?!”
Gadis itu terjatuh dengan
posisi menggelikan. Wajahnya seperti orang terkejut. Kemudian ia segera bangkit
duduk dan menatap pria itu dengan tatapan mata tajam.
“Apa kau bilang? Siapa
yang kau bilang bodoh, hah?!” teriak gadis itu sambil mengacungkan dagunya ke
hadapan pria di hadapannya.
Sial, kenapa pula harus ada tangga kecil di tengah koridor ini?
Seingatku dulu tidak ada. Siapa yang membuatnya? pikir gadis itu sembari
mengelus pantatnya yang terasa sedikit sakit.
“Tentu saja kau. Memangnya
siapa lagi, tetangga sebelah?” sahut pria itu datar.
Lalu ia melangkah lagi
mendekati gadis itu hingga jarak mereka tinggal satu jengkal. Pria itu
mengulurkan tangannya ke hadapan gadis itu.
“Cepat berdiri.”
Gadis itu segera
menangkis tangan pria itu dengan kasar.
“Aku bisa sendiri.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Aku tidak
butuh bantuanmu!”
“Kenapa tidak?”
“Kenapa harus?”
Henry Lau menghela
napas pasrah. “Baiklah, coba saja berdiri.”
Natsumi Angel mulai
menopang tubuhnya dengan sebelah tangannya, mencoba untuk berdiri namun nyeri
di kaki kirinya membuatnya tak mampu bergerak sedikitpun. Natsumi meringis
kesakitan. Benturan di kaki kirinya untuk yang kedua kalinya cukup keras akibat
insiden mendadak terjatuh barusan membuatnya kepayahan untuk berdiri.
“Bisa tidak?” tanya
Henry sambil terkekeh kecil.
“Jangan tertawa! Apa
kau pikir ini lucu, hah?!” sahut Natsumi tak terima.
Untuk beberapa saat
Henry membiarkan Natsumi untuk berdiri sendiri dengan sebelah kakinya yang
diperban. Oh, astaga kapan siapnya kalau
seperti ini terus?
Natsumi Angel seorang
gadis belasteran Jepang-Amerika adalah gadis yang ceroboh dan keras kepala. Ia
tipe gadis yang tidak akan mau mendengarkan perkataan atau pun pertolongan
orang lain, termasuk orang tuanya sendiri. Satu-satunya cara membuatnya menurut
adalah dengan memaksanya.
Natsumi masih mencoba
berdiri sambil meringis dan kali ini tumpuhan tangan kanan yang digunakannya
untuk menopang tubuh untuk berdiri tergelincir dengan sempurna, membuat siku
sebelah kanannya membentur lantai marmer ruangan itu cukup keras. Natsumi
menjerit kesakitan.
“Baiklah. Sudah cukup! Kau
benar-benar keras kepala.”
Henry kemudian menunduk
meraih tubuh bagian atas Natsumi dengan lengan kirinya dan menyelipkan lengan
kanannya ke bawah lutut Natsumi. Dengan sekali hentakan, ia berhasil mengangkat
tubuh Natsumi dengan mudah.
“Hei! Apa yang kau
lakukan Henry Lau! Lepaskan aku!” teriak Natsumi sambil meronta meggoyangkan
kaki dan memukuli dada Henry.
“Diamlah. Aku sedang
menggendongmu gadis bodoh,” balas Henry kesal.
Henry mulai berjalan
menuruni anak tangga rumah itu dengan gerakan perlahan. Namun Natsumi hampir
saja menggoyahkan keseimbangannya dengan terus memberontak. Akhirnya Henry
menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
“Dengar ya Tuan putri
yang terhormat. Saat ini aku sedang menggendong tubuhmu yang lumayan berat. Ditambah
lagi posisi kita sekarang ada di anak tangga paling atas dan hendak turun ke
lantai bawah untuk menyembuhkan luka sialan di kakimu itu akibat kecerobohannmu
memanjat lemari dapur semalam yang sukses membuatmu terjungkal ke belakang. Nah,
sekarang kau bayangkan saja dengan otakmu yang sederhana itu apa yang akan
terjadi kalau kau terus saja meronta-ronta dan tidak bisa diam. Aku jamin seratus
persen kau tidak akan bisa berdiri selama sebulan. Bukan karena sakit, tapi
tentu saja karena rasa malu mengingat harga dirimu yang sangat tinggi,” jelas
Henry panjang lebar yang sukses membuat Natsumi terdiam. “Dan tolong jangan
membuatku malu di hari pernikahanku sendiri,” tambahnya.
Tentu saja ia tak mau
terjatuh di hadapan banyak orang seperti sekarang. Ditambah lagi dengan pria
ini yang sudah pasti akan berguling dengannya sepanjang tangga dan terjatuh
dengan posisi memalukan. Oh, itu sama sekali tidak lucu. Akhirnya Natsumi
memilih untuk diam dan menuruti pria itu.
Henry melirik ke arah
Natsumi sambil tersenyum kecil manyadari gadis itu menangkap apa yang
dikatakannya.
Flash
Back On
“Apa? Menikah?!”
Pekikan gadis itu
menggema sepanjang ruang makan mewah rumah itu. Garpu yang ia pegang sedari
tadi untuk memotong steak tiba-tiba
terlepas dari genggamannya dan jatuh mengenai piring guci berdesain Eropa. Menimbulkan
suara berisik yang cukup keras.
“Daddy, umurku masih 17 tahun dan baru tamat sekolah. Bagaimana bisa
Daddy menyuruhku untuk menikah? Aku
bahkan belum pernah berpacaran sekalipun. Tidak! Aku tidak mau menikah, Daddy. Tidak mau!” ucap Natsumi tak
terima.
Pernikahan mendadak
yang diputuskan oleh Robert –ayah Natsumi- membuat gadis itu menolak tegas
permintaan ayahnya. Tentu saja ia tidak mau menikah dengan seorang pria yang
baru dikenalnya. Yang benar saja, bagaimana mungkin ini terjadi? Pacaran saja
ia tidak pernah.
Robert menghembuskan
napas panjang. Ia sudah menduga akan menerima reaksi semacam ini dari anak
semata wayangnya. Putrinya ini memang sangat keras kepala, tapi ayahnya tahu
biarpun Natsumi adalah seorang pemberontak, ia bukanlah tipe gadis yang akan
melawan perintah ayahnya. Apalagi yang menyangkut urusan keselamatan dirinya
sendiri.
Natsumi adalah putri tunggal
Robert yang notabenya adalah seorang ketua Gengster terkaya se-Jepang. Mereka
tinggal di Distrik kota Minato tepatnya di permukiman mewah yang terdapat
di Azabu.
Distrik kota Minato adalah salah
satu dari 23 distrik istimewa
yang terletak di Tokyo
tenggara, Jepang.
Tokyo adalah sebuah prefektur
sehingga kedudukan distrik kota Minato sama dengan sebuah kota. Di kota Minato
terdapat tempat-tempat keramaian seperti Odaiba,
Roppongi,
Shiodome,
dan Stasiun
Shinagawa yang merupakan stasiun kereta api Shinkansen.
Kota ini ramai dengan kantor pusat perusahaan besar, kedutaan besar, dan
perusahaan asing. Pusat perkantoran terdapat di Toranomon,
Shinbashi,
Shiba.
Sementara Aoyama
dan Akasaka
merupakan pusat perdagangan.
Walaupun terletak di
pusat kota Tokyo, kota Minato memiliki kawasan taman yang luas, termasuk di Istana Tōgū,
Istana Akasaka
(Geihinkan), Taman Shiba,
dan kawasan hijau di Shirokanedai. Mereka memang tinggal di Jepang, tapi dalam
keseharian, Natsumi dibiasakan menggunakan bahasa inggris oleh ayahnya yang
memang asli orang Amerika. Robert pindah ke Jepang sekitar 4 tahun yang lalu
karena ditinggal mati oleh istri pertamanya lalu menikah dengan orang Jepang
asli kemudian memutuskan untuk menetap di Tokyo.
“Pernikahannya sudah Daddy atur. Gaun, pesta acara, dan tamu
undangan, semuanya sudah Daddy persiapkan.
Acaranya akan dilaksanakan bulan depan. Kau hanya perlu duduk manis di samping
calon suamimu nanti. Jangan bertingkah dan berbuat macam-macam, okay?” sahut Robert datar.
Pria itu sama sekali
tidak memperdulikan penolakan yang dilancarkan terus menerus oleh putri
kesayangannya itu.
“Tapi, Daddy, aku tidak mau menikah! Aku belum
siap! Pokoknya aku tidak akan menghadiri acara itu!” pekik Natsumi lagi.
Pandangannya kemudian
beralih pada pria yang sedari tadi berdiri di samping ayahnya. Pria tampan
dengan kulit putih susu dan tinggi. Pembawaannya tenang, namun sekali ia
tersenyum tak seorang pun mampu menolak pesonanya.
“Marcus, bantu aku
menjelaskan pada Daddy. Katakan
padanya aku belum siap menikah,” pinta Natsumi pada Marcus dengan tampang
memelas.
Ia mendekati pria itu
kemudian menarik-narik ujung baju marcus dengan sikap manjanya. Ia dan Marcus
memang sangat dekat. Setelah kematian ibunya 16 tahun yang lalu, Marcuslah
tempatnya mencurahkan segala kekesalan dan kesedihan yang mendalam. Dan Marcus
akan dengan senang hati mendengarkan segala keluh kesah Natsumi atau bahkan
sekedar mendengar hal-hal kecil yang gadis itu lakukan. Bisa dikatakan, Marcus
adalah pengganti ibunya tetapi tidak sepenuhnya. Karena ibu yang sangat
dicintai Natsumi itu memang tidak akan tergantikan oleh siapapun.
“Maaf Nona muda, saya
tidak bisa berbuat apapun. Ayah anda sendiri yang memutuskan hal itu. Dan saya
sebagai pengawalnya hanya bisa menurut,” jawab Marcus dengan suara pelan dan
ramah sambil tersenyum kecil.
Nah, hal inilah yang
membuat Natsumi terkadang kesal pada Marcus. Pria itu akan lebih memilih
menuruti perintah sang ayah daripada dirinya. Karena yah, pada kenyataannya Marcus
adalah tangan kanan Robert dan Natsumi terkadang lupa akan hal itu. Tapi bukan
Natsumi namanya jika menyerah begitu saja.
“Oh, ayolah Marcus…Please…bantu aku bicara pada Daddy. Apa kau tidak kasihan padaku yang
akan menikah dengan pria yang tidak aku inginkan. Aku bahkan tidak begitu mengenalnya,
Marcus. Aku pasti akan merasa sangat sedih nantinya…. Kumohon bantu aku bicara
pada Daddy, Marcus…Ayolah….,” ucap
Natsumi sambil memamerkan wajah sedih andalanya pada Marcus. Biasanya pria itu
akan langsung luluh bila Natsumi berbuat seperti itu.
****
“Menikah dengannya? Aku
rasa bukan ide yang buruk,” ucap seorang pria berperawakan tinggi itu. Rambut
hitam, mata sipit, dan kulit putih pucatnya mendominasi karakter wajah khas
orang Asia.
Zhou Mi menatap pria di
hadapannya yang sedang sibuk memilih setelan jas yang cocok untuk ukuran tubuh
tinggi pria itu.
“Hm…Aku rasa juga
begitu,” sahut Henry dengan nada santai.
“Apa kau yang
mengusulkan semua ini pada ayahnya?” tanya Zhou Mi penasaran.
Henry menggeleng. Ia
menyerahkan beberapa setelan jas yang ia pikir pas untuknya kepada pramuniaga
yang sedari tadi mengikutinya memilih pakaian.
“Tolong bungkus ini
semua,” ucapnya pada pramuniaga itu.
“Tuan tidak ingin
mencobanya terlebih dahulu?” sahut wanita ramah itu.
Henry hanya menggeleng dan menyuruh pramuniaga itu
untuk segera membungkus jas tersebut.
“Tapi bagaimana bisa
ayahnya memiliki permikiran semacam itu? putrinya itu bahkan baru tamat
sekolah. Dia masih 17 tahun, bukan?” tanya Zhou Mi lagi tak mengerti.
“Apa aku harus
menjelaskannya lagi padamu dari awal?” sahut Henry malas. Ia menatap Zhou Mi
dengan alis terangkat.
“Oh, tidak perlu jika
kau keberatan. Aku tahu kau tidak sepenuhnya tak mengenal gadis itu. Maksudku,
kau bahkan mungkin sangat mengenal gadis itu,” ucapnya sambil memegangi dagu
dengan sebelah tangannya.
Henry mengerutkan
kening. “Maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
“Hei! Henry Lau, kau
tidak perlu berpura-pura bodoh di depanku,” sahutnya sambil menyenggolkan
sebelah sikunya ke lengan kanan Henry.
****
Natsumi berjalan dengan
langkah lebar menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai 2. Ia mendengus
kesal sambil sesekali mencibir tak jelas. Setiap hentakan kakinya terdengar
keras menandakan kekesalannya yang mendalam. Ia membuka pintu kamarnya dengan
kasar dan membantingnya lalu menguncinya.
Marcus menyusul Natsumi
di belakang setelah mendapat perintah dari Robert.
“Marcus, tolong bujuk
anak itu. Dia tipe gadis yang keras kepala, kau tahu itu. Sayangnya Henry
sedang mengurus keperluan pernikahan mereka. Hanya kau yang bisa membujuknya
selain pria itu,” ucap Robert tegas dan penuh penekanan.
Ia melihat piring
Natsumi yang masih penuh dengan makanan dan berkata lagi. “Suruh dia
menghabiskan makanannya. Aku tak ingin melihat putriku satu-satunya jatuh sakit.”
Tok Tok Tok
Natsumi mendengus
mendengar ketukan pintu di depan kamarnya. Pasti Marcus, selalu saja dia yang
datang untuk membujukku, pikir Natsumi.
“Pergilah Marcus. Aku
sedang tidak ingin bicara padamu,” teriak Natsumi dari dalam kamarnya.
“Nona muda, Tuan
meminta anda untuk turun dan menghabiskan makanan anda.”
“Aku tidak mau! Katakan
pada Daddy aku tidak mau makan sampai
Daddy membatalkan keputusan untuk
menikahkan aku dengan pria itu!”
“Nona jangan seperti
ini. Nona harus makan. Tuan tidak mau Nona sampai jatuh sakit,” jelasnya cemas.
“Sudah kukatakan aku
tidak mau, Marcus. Jangan membujukku lagi! Kau bahkan tidak mau membelaku di
depan Daddy!” sahutnya lagi. Kali ini
ia mengerucutkan bibirnya tanda merajuk.
“Maafkan aku Natsumi. Sekarang,
bukalah pintunya. Biarkan aku masuk,” pinta Marcus. Kali ini ia menggunakan
bahasa non formal. Itu artinya ia sudah mulai menganggap Natsumi sebagai gadis
biasa seperti yang sering ia lakukan saat gadis itu mulai merajuk padanya.
“Aku sedang ingin
sendiri!”
“Kumohon Natsumi.”
“Aku tidak ingin bicara
padamu, Marcus. Pergilah.”
“Tapi aku perlu bicara
padamu.”
Natsumi mendecakkan
lidah dan mulai turun dari ranjangnya. Natsumi sebenarnya saat ini sangat
membutuhkan teman bercerita. Tentu saja dalam hatinya ia berharap Marcus mau
mendengarkan keluh kesah yang akan ia sampaikan. Tapi sayangnya saat ini Marcus
tidak sedang berpihak padanya.
Ia membuka pintu
kemudian mengeluarkan kepalanya sedikit dari balik pintu. Hanya untuk sekedar
bisa melihat wajah Marcus.
“Mau bicara apa?” tanya
Natsumi malas.
“Biarkan aku masuk
dulu,” jawab Marcus sambil mendorong pintu bercat kuning gading itu. Sayangnya
Natsumi menahan pintu itu.
“Tidak usah. Di sini
saja,” kata Natsumi dengan wajah datar
memandang Marcus.
Marcus mengulurkan
tangannya menggapai puncak kepala Natsumi, mengelusnya pelan. Hal yang biasa ia
lakukan untuk menenangkan hati gadis itu. Natsumi membiarkannya saja. Ia sudah
terbiasa dengan hal itu.
“Aku tahu kau sedang
kesal padaku,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Memang,” jawab Natsumi
acuh.
“Karena aku tidak mau
membantumu?”
“Ya, tentu saja. Memangnya
apa lagi?!”
“Karena itu kau juga
tidak mau lagi bicara padaku?” tanya Marcus dengan suara lembutnya.
Kali ini Natsumi
mengangkat wajahnya. Menatap mata coklat muda pria itu. Wajah Marcus adalah
wajah khas orang Amerika, tapi ia memiliki mata coklat yang indah. Melihat mata
teduh Marcus membuatnya tertunduk kaku.
“Si…siapa bilang?”
jawab Natsumi terbata. Tidak, bukan itu maksudnya. Sekalipun ia marah pada pria
ini. Ia takkan sanggup jika tak bicara dengannya sehari saja.
“Kalau begitu bisakah
kau membuka pintu ini sekarang?”
Natsumi menghela napas
pasrah dan membuka pintu. “Baiklah, kau boleh masuk.”
Gadis itu saat ini
memang membutuhkan seseorang untuk melampiaskan segala kekesalannya. Walaupun
sekarang Marcus tidak berpihak padanya, setidaknya ia bisa mengurangi beban
yang ada di benaknya. Ia bisa bercerita dengan nyaman pada Marcus.
****
“Kalian sudah bersama
selama tiga tahun, bukan?” ucap Zhou Mi sambil berjalan menuju tempat parkir
mobil mereka.
Henry sontak menoleh
pada pria yang berjalan di sampingnya. “Apa?” sahutnya dengan kening berkerut.
“Apa?” ucap Zhou Mi,
mengulang pertanyaan Henry. “Itu memang benar, bukan? Kau selalu mengikutinya
kemanapun ia pergi selama tiga tahun ini,” jelas Zhou Mi.
Henry terkekeh kecil. “Kau
mengucapkannya seolah aku memiliki hubungan khusus dengannya.”
“Tapi kalian memang
punya hubungan khusus,” sela Zhou Mi.
“Ya, hanya sebatas
pekerjaan,” sahut Henry menegaskan.
“Kurasa lebih dari itu.”
Henry memutar bola
matanya malas. “Zhou Mi! Aku hanya pengawalnya. Bo-dy-guard! Kau dengar?!”
“Tepatnya pengawal
pribadi,” tambah Zhou Mi.
Rekannya yang satu ini
memang suka sekali menggodanya. Ia begitu tertarik dengan hubungan Henry dan
gadis itu. Lebih tepatnya terobsesi, entah karena apa. Pria cerdas yang
mempunyai pemikiran sendiri.
“Tapi sekarang
sepertinya kau sudah naik jabatan. Bukan pengawal pribadinya lagi, melainkan
calon suaminya.”
Ucapan rekannya barusan
sukses menghentikan langkah kaki Henry. Henry memandang Zhou Mi yang sedang
berdiri di seberang pintu mobilnya.
“Bukankah itu yang
diinginkan ketua selama ini?”
Zhou Mi mengangkat bahu
dan membuka pintu mobil. “Yah, begitulah,” sahutnya acuh. Kemudian masuk ke
dalam mobil Mercedes hitam itu.
Tak ada pembicaraan
lebih setelah itu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Henry
menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Membuat mobil itu melaju
kencang di jalanan besar kota Tokyo.
***
Henry melangkahkan
kakinya memasuki ruangan mewah rumah itu. kedua tangannya menenteng beberapa
tas besar. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kemudian tersenyum
miring. Zhou Mi sendiri sudah pergi ke ruangan Robert karena mendapat panggilan
dari atasannya itu.
“Kau sudah pulang?”
Henry menolehkan wajah
menatap pria tinggi yang sedang berjalan menuruni anak tangga rumah itu.
“Ya, baru saja,” sahut
Henry sambil mengangkat bahu. Ia berjalan mendekati tangga menghampiri Marcus. “Di
mana Natsumi?” tanya Henry sambil mengangkat wajah menatap Marcus.
“Ada di kamarnya,”
jawab Marcus tanpa memalingkan pandangan dari Henry.
Henry baru saja akan
menaiki anak tangga saat tiba-tiba tangan Marcus menahan sikunya. Henry
berhenti dan menoleh. Mata coklat milik Marcus beradu dengan mata biru milik
Henry.
“Pastikan kalau kau
tidak akan memperburuk keadaan dengan menemuinya. Dia sedang dalam keadaan mood yang tidak baik hari ini. Dan itu
semua karena ulahmu,” ucap Marcus dengan nada dingin. Kentara sekali kalau
Marcus tidak menyukai pria ini.
Entah kenapa, sejak
pertama kali bertemu dengan Henry dalam acara itu 3 tahun yang lalu. Ia selalu
merasan ada yang aneh dengan pria itu. Tapi sayangnya ia tidak mempunyai alasan
yang cukup kuat untuk membuktikan perasaannya itu. Perasaan aneh yang membuatnya
tidak suka pada pria ini. Lalu pada akhirnya Marcus hanya memendamnya saja
tanpa melaporkan atau berbuat apapun. Dan Henry sadar akan hal itu.
“Tenang saja. Aku yang
akan bertanggung jawab atas kekesalan calon istriku,” sahut Henry sambil
tersenyum miring. Ia melepaskan cengkraman tangan Marcus dari sikunya. Kemudian
ia melangkah lagi menaiki anak tangga melewati Marcus menuju kamar Natsumi.
***
Natsumi membuka pintu
dengan malas saat mendengar ada yang mengetuk pintu kamarnya lagi.
“Ada apa lagi Mar…”
Natsumi menghentikan kata-katanya saat menyadari bukan Marcus yang berdiri di
depan pintu kamarnya, melainkan Henry. Pria yang akan menjadi suaminya nanti. Pria
yang mampu membuat mood-nya hancur
dalam sekejap.
“Mau apa kau?!” pekik
Natsumi sambil membulatkan matanya.
“Tidak ada. Aku hanya
ingin masuk ke kamarku.”
“Apa?!” belum sempat
Natsumi melanjutkan, Henry tanpa aba-aba sudah melangkah masuk ke dalam kamar
yang didominasi dengan warna ungu itu.
Natsumi segera
mengikuti Henry dari belakang dan berdiri tegak di hadapan pria itu. Tidak
membiarkannya melangkah lebih jauh lagi.
“Kau tidak punya mata,
eoh? Ini bukan kamarmu! Kau bahkan tidak tinggal di sini! Apa apartement mewah
yang sudah di sediakan ayahku itu tidak cukup untukmu?!” teriak Natsumi sambil
berkacak pinggang.
“Kenapa kau marah-marah?”
tanya Henry acuh. Ia memiringkan kepalanya menatap Natsumi.
“Kenapa?! Hei! Apa
ocehanku barusan kurang jelas? Tidak ada yang mengijinkanmu masuk kemari! Cepat
keluar dari kamarku!” lanjut Natsumi penuh emosi. Saat ini mood-nya sedang tidak baik dan pria ini malah seenaknya saja menganggu ketenangannya.
“Hei! Gadis bodoh. Aku
ini calon suamimu. Apa kau lupa, eoh?” jelas Henry sambil menaruh barang-barang
bawaannya ke lantai ruangan itu.
“Tentu saja aku tidak
lupa kalau pria menyebalkan sepertimu ini adalah calon suamiku! Dan kau
seharusnya berpikir dengan otakmu yang sok pintar itu, kau masih sebatas calon
untukku! Ca-lon!” pekik Natsumi dengan penekanan di setiap kata. “Kita sama
sekali belum menikah! Kau paham?! Sekarang keluar kau dari kamarku!” lanjut
Natsumi sambil melayangkan telunjuknya ke arah pintu menyuruh pria itu untuk
segera keluar.
Henry tidak
menghiraukan teriakan Natsumi. Ia berjalan santai melewati gadis itu dan duduk
di pinggir ranjang. Setelah membuka sepatunya, Henry merenggangkan otot-ototnya
yang kaku kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk berwarna ungu milik
gadis itu.
“Kau diamlah sebentar. Aku
ingin tidur. Seharian mengurusi keperluan pernikahan kita benar-benar membuatku
lelah,” gumam Henry sambil menguap.
Sedetik setelah ia
mengataka itu, Henry sudah memejamkan mata. Pria itu tertidur pulas di atas
ranjang empuk berbulu. Dan sedetik kemudian hanya terdengar suara teriakan
seorang gadis di ruangan itu yang memanggil namanya dengan kesal.
“HENRY LAU!!!!”
****
Posting Komentar Blogger Facebook Disqus