Title : Unpredictable Fate
Genre : Romance, Action, family
Length : 18 page
Rated : 16+
Main Cast : Henry Lau, Natsumi, Marcus, etc.
Author : Yoshioko Kawazoe
Disclaimers :  This FF is an ordinary imagination from my mind. :D No Plagiat!!



Chapter 1
Gadis itu berjalan di sepanjang koridor yang didominasi dengan warna putih dan lukisan klasik khas berbagai Negara menghiasi setiap jengkal dinding itu. Sebelah kakinya sedikit menyeret dan keseimbangannya agak goyah ketika ia meletakkan kaki kiri ke atas lantai marmer yang berkilat dan licin. Gaun mewah bermotif bunga sakura berwarna putih dan topi kecil merah muda bertengger indah di puncak kepala gadis itu, melengkapi penampilannya yang anggun namun berkesan klasik.
Wajah gadis itu sangat cantik. Mata birunya memancarkan cahaya redup. Kulit putihnya seolah semakin terlihat bersinar di bawah naungan lampu Kristal mewah. Dan rambut panjang hitamnya yang lurus tergerai begitu saja, bergoyang mengikuti gerakan angin yang berhembus dari arah sebelah kiri tepat dimana terdapat jendela kaca besar. Umur  gadis itu masih 17 tahun. Usia yang terlalu muda untuk seseorang yang sudah menikah.
“Mau kemana kau?” Sebuah suara menghentikan langkah kakinya. Gadis itu terkesiap dan membalikkan badan dengan cepat.
“Kau tidak berencana untuk kabur, bukan?” Suara tennor seorang pria terdengar semakin dalam. Pria dengan tubuh tinggi, kulit putih dan mata biru yang indah. Ia mengenakan jass putih dipadu dengan dasi pink bercorak garis-garis yang membuat penampilannya semakin menawan.
“Ti…tidak. Aku hanya…aku hanya….mmm…” ucap gadis itu terbata. Ia bingung harus mengatakan apa. Ia harus mencari alasan yang masuk akal untuk menghindari pertanyaan yang akan memojokkan dirinya dari pria ini. Pria yang selama ini selalu mengawasinya kemanapun ia pergi.
“Aku hanya ingin ke toilet,” sambung gadis itu akhirnya. Kemudian untuk lebih menyakinkan ia berpura-pura memegangi perutnya. “Sepertinya aku kebanyakan makan. Perutku sakit.”
Pria itu memandang wajah gadis itu sambil mengerutkan kening. Memandanginya dari ujung wajah sampai kaki kemudian kembali lagi ke wajah.
“Benarkah?” sahutnya tak percaya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Tapi selama aku memperhatikanmu tadi, kau sama sekali tak terlihat memakan sesuatu. Kau benar-benar terlihat tak berselera makan. Aku yakin itu.”
Gadis itu memutar bola matanya malas dan mendengus. “Kau tidak percaya padaku?”
Pria itu menggeleng kemudian menyahut. “Wajahmu sama sekali tak terlihat meyakinkan. Terlalu mudah di tebak.”
Pria dengan jas putih itu mulai berjalan mendekat. Membuat gadis itu bereaksi cepat. Ia mundur beberapa langkah.
“Mau apa kau? Jangan mendekat!” teriak gadis itu gugup.
“Aku tidak mau apa-apa. Diamlah disitu,” jawab pria berambut pirang itu santai. Ia terus melangkah perlahan mendekati posisi gadis itu berdiri. Gadis itu sontak melangkah mundur lagi.
“Sudah kukatakan jangan bergerak. Apa kau tak punya telinga, eoh?”
“Memangnya kau mau apa? Kenapa pula aku tak boleh bergerak?!” pekik gadis itu kesal.
Ia tetap bergerak mundur. Perlahan ia menggeser kakinya ke belakang  tanpa menoleh dan tiba-tiba….
GUBRRAAAKKSS
Gadis itu terjatuh sempurna dengan posisi terlentak dan kaki ke atas.
“Ck! Kan sudah kubilang jangan bergerak! Kau itu bodoh atau apa?!”
Gadis itu terjatuh dengan posisi menggelikan. Wajahnya seperti orang terkejut. Kemudian ia segera bangkit duduk dan menatap pria itu dengan tatapan mata tajam.
“Apa kau bilang? Siapa yang kau bilang bodoh, hah?!” teriak gadis itu sambil mengacungkan dagunya ke hadapan pria di hadapannya.
Sial, kenapa pula  harus ada tangga kecil di tengah koridor ini? Seingatku dulu tidak ada. Siapa yang membuatnya? pikir gadis itu sembari mengelus pantatnya yang terasa sedikit sakit.
“Tentu saja kau. Memangnya siapa lagi, tetangga sebelah?” sahut pria itu datar.
Lalu ia melangkah lagi mendekati gadis itu hingga jarak mereka tinggal satu jengkal. Pria itu mengulurkan tangannya ke hadapan gadis itu.
“Cepat berdiri.”
Gadis itu segera menangkis tangan pria itu dengan kasar.
“Aku bisa sendiri.”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Aku tidak butuh bantuanmu!”
“Kenapa tidak?”
“Kenapa harus?”
Henry Lau menghela napas pasrah. “Baiklah, coba saja berdiri.”
Natsumi Angel mulai menopang tubuhnya dengan sebelah tangannya, mencoba untuk berdiri namun nyeri di kaki kirinya membuatnya tak mampu bergerak sedikitpun. Natsumi meringis kesakitan. Benturan di kaki kirinya untuk yang kedua kalinya cukup keras akibat insiden mendadak terjatuh barusan membuatnya kepayahan untuk berdiri.
“Bisa tidak?” tanya Henry sambil terkekeh kecil.
“Jangan tertawa! Apa kau pikir ini lucu, hah?!” sahut Natsumi tak terima.
Untuk beberapa saat Henry membiarkan Natsumi untuk berdiri sendiri dengan sebelah kakinya yang diperban. Oh, astaga kapan siapnya kalau seperti ini terus?
Natsumi Angel seorang gadis belasteran Jepang-Amerika adalah gadis yang ceroboh dan keras kepala. Ia tipe gadis yang tidak akan mau mendengarkan perkataan atau pun pertolongan orang lain, termasuk orang tuanya sendiri. Satu-satunya cara membuatnya menurut adalah dengan memaksanya.
Natsumi masih mencoba berdiri sambil meringis dan kali ini tumpuhan tangan kanan yang digunakannya untuk menopang tubuh untuk berdiri tergelincir dengan sempurna, membuat siku sebelah kanannya membentur lantai marmer ruangan itu cukup keras. Natsumi menjerit kesakitan.
“Baiklah. Sudah cukup! Kau benar-benar keras kepala.”
Henry kemudian menunduk meraih tubuh bagian atas Natsumi dengan lengan kirinya dan menyelipkan lengan kanannya ke bawah lutut Natsumi. Dengan sekali hentakan, ia berhasil mengangkat tubuh Natsumi dengan mudah.
“Hei! Apa yang kau lakukan Henry Lau! Lepaskan aku!” teriak Natsumi sambil meronta meggoyangkan kaki dan memukuli dada Henry.
“Diamlah. Aku sedang menggendongmu gadis bodoh,” balas Henry kesal.
Henry mulai berjalan menuruni anak tangga rumah itu dengan gerakan perlahan. Namun Natsumi hampir saja menggoyahkan keseimbangannya dengan terus memberontak. Akhirnya Henry menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
“Dengar ya Tuan putri yang terhormat. Saat ini aku sedang menggendong tubuhmu yang lumayan berat. Ditambah lagi posisi kita sekarang ada di anak tangga paling atas dan hendak turun ke lantai bawah untuk menyembuhkan luka sialan di kakimu itu akibat kecerobohannmu memanjat lemari dapur semalam yang sukses membuatmu terjungkal ke belakang. Nah, sekarang kau bayangkan saja dengan otakmu yang sederhana itu apa yang akan terjadi kalau kau terus saja meronta-ronta dan tidak bisa diam. Aku jamin seratus persen kau tidak akan bisa berdiri selama sebulan. Bukan karena sakit, tapi tentu saja karena rasa malu mengingat harga dirimu yang sangat tinggi,” jelas Henry panjang lebar yang sukses membuat Natsumi terdiam. “Dan tolong jangan membuatku malu di hari pernikahanku sendiri,” tambahnya.
Tentu saja ia tak mau terjatuh di hadapan banyak orang seperti sekarang. Ditambah lagi dengan pria ini yang sudah pasti akan berguling dengannya sepanjang tangga dan terjatuh dengan posisi memalukan. Oh, itu sama sekali tidak lucu. Akhirnya Natsumi memilih untuk diam dan menuruti pria itu.
Henry melirik ke arah Natsumi sambil tersenyum kecil manyadari gadis itu menangkap apa yang dikatakannya.


Flash Back On
“Apa? Menikah?!”
Pekikan gadis itu menggema sepanjang ruang makan mewah rumah itu. Garpu yang ia pegang sedari tadi untuk memotong steak tiba-tiba terlepas dari genggamannya dan jatuh mengenai piring guci berdesain Eropa. Menimbulkan suara berisik yang cukup keras.
Daddy, umurku masih 17 tahun dan baru tamat sekolah. Bagaimana bisa Daddy menyuruhku untuk menikah? Aku bahkan belum pernah berpacaran sekalipun. Tidak! Aku tidak mau menikah, Daddy. Tidak mau!” ucap Natsumi tak terima.
Pernikahan mendadak yang diputuskan oleh Robert –ayah Natsumi- membuat gadis itu menolak tegas permintaan ayahnya. Tentu saja ia tidak mau menikah dengan seorang pria yang baru dikenalnya. Yang benar saja, bagaimana mungkin ini terjadi? Pacaran saja ia tidak pernah.
Robert menghembuskan napas panjang. Ia sudah menduga akan menerima reaksi semacam ini dari anak semata wayangnya. Putrinya ini memang sangat keras kepala, tapi ayahnya tahu biarpun Natsumi adalah seorang pemberontak, ia bukanlah tipe gadis yang akan melawan perintah ayahnya. Apalagi yang menyangkut urusan keselamatan dirinya sendiri.
Natsumi adalah putri tunggal Robert yang notabenya adalah seorang ketua Gengster terkaya se-Jepang. Mereka tinggal di Distrik kota Minato tepatnya di permukiman mewah yang terdapat di Azabu. Distrik kota Minato adalah salah satu dari 23 distrik istimewa yang terletak di Tokyo tenggara, Jepang. Tokyo adalah sebuah prefektur sehingga kedudukan distrik kota Minato sama dengan sebuah kota. Di kota Minato terdapat tempat-tempat keramaian seperti Odaiba, Roppongi, Shiodome, dan Stasiun Shinagawa yang merupakan stasiun kereta api Shinkansen. Kota ini ramai dengan kantor pusat perusahaan besar, kedutaan besar, dan perusahaan asing. Pusat perkantoran terdapat di Toranomon, Shinbashi, Shiba. Sementara Aoyama dan Akasaka merupakan pusat perdagangan.
Walaupun terletak di pusat kota Tokyo, kota Minato memiliki kawasan taman yang luas, termasuk di Istana Tōgū, Istana Akasaka (Geihinkan), Taman Shiba, dan kawasan hijau di Shirokanedai. Mereka memang tinggal di Jepang, tapi dalam keseharian, Natsumi dibiasakan menggunakan bahasa inggris oleh ayahnya yang memang asli orang Amerika. Robert pindah ke Jepang sekitar 4 tahun yang lalu karena ditinggal mati oleh istri pertamanya lalu menikah dengan orang Jepang asli kemudian memutuskan untuk menetap di Tokyo.
“Pernikahannya sudah Daddy atur. Gaun, pesta acara, dan tamu undangan, semuanya sudah Daddy persiapkan. Acaranya akan dilaksanakan bulan depan. Kau hanya perlu duduk manis di samping calon suamimu nanti. Jangan bertingkah dan berbuat macam-macam, okay?” sahut Robert datar.
Pria itu sama sekali tidak memperdulikan penolakan yang dilancarkan terus menerus oleh putri kesayangannya itu.
“Tapi, Daddy, aku tidak mau menikah! Aku belum siap! Pokoknya aku tidak akan menghadiri acara itu!” pekik Natsumi lagi.
Pandangannya kemudian beralih pada pria yang sedari tadi berdiri di samping ayahnya. Pria tampan dengan kulit putih susu dan tinggi. Pembawaannya tenang, namun sekali ia tersenyum tak seorang pun mampu menolak pesonanya.
“Marcus, bantu aku menjelaskan pada Daddy. Katakan padanya aku belum siap menikah,” pinta Natsumi pada Marcus dengan tampang memelas.
Ia mendekati pria itu kemudian menarik-narik ujung baju marcus dengan sikap manjanya. Ia dan Marcus memang sangat dekat. Setelah kematian ibunya 16 tahun yang lalu, Marcuslah tempatnya mencurahkan segala kekesalan dan kesedihan yang mendalam. Dan Marcus akan dengan senang hati mendengarkan segala keluh kesah Natsumi atau bahkan sekedar mendengar hal-hal kecil yang gadis itu lakukan. Bisa dikatakan, Marcus adalah pengganti ibunya tetapi tidak sepenuhnya. Karena ibu yang sangat dicintai Natsumi itu memang tidak akan tergantikan oleh siapapun.
“Maaf Nona muda, saya tidak bisa berbuat apapun. Ayah anda sendiri yang memutuskan hal itu. Dan saya sebagai pengawalnya hanya bisa menurut,” jawab Marcus dengan suara pelan dan ramah sambil tersenyum kecil.
Nah, hal inilah yang membuat Natsumi terkadang kesal pada Marcus. Pria itu akan lebih memilih menuruti perintah sang ayah daripada dirinya. Karena yah, pada kenyataannya Marcus adalah tangan kanan Robert dan Natsumi terkadang lupa akan hal itu. Tapi bukan Natsumi namanya jika menyerah begitu saja.
“Oh, ayolah Marcus…Please…bantu aku bicara pada Daddy. Apa kau tidak kasihan padaku yang akan menikah dengan pria yang tidak aku inginkan. Aku bahkan tidak begitu mengenalnya, Marcus. Aku pasti akan merasa sangat sedih nantinya…. Kumohon bantu aku bicara pada Daddy, Marcus…Ayolah….,” ucap Natsumi sambil memamerkan wajah sedih andalanya pada Marcus. Biasanya pria itu akan langsung luluh bila Natsumi berbuat seperti itu.
****
“Menikah dengannya? Aku rasa bukan ide yang buruk,” ucap seorang pria berperawakan tinggi itu. Rambut hitam, mata sipit, dan kulit putih pucatnya mendominasi karakter wajah khas orang Asia.
Zhou Mi menatap pria di hadapannya yang sedang sibuk memilih setelan jas yang cocok untuk ukuran tubuh tinggi pria itu.
“Hm…Aku rasa juga begitu,” sahut Henry dengan nada santai.
“Apa kau yang mengusulkan semua ini pada ayahnya?” tanya Zhou Mi penasaran.
Henry menggeleng. Ia menyerahkan beberapa setelan jas yang ia pikir pas untuknya kepada pramuniaga yang sedari tadi mengikutinya memilih pakaian.
“Tolong bungkus ini semua,” ucapnya pada pramuniaga itu.
“Tuan tidak ingin mencobanya terlebih dahulu?” sahut wanita ramah itu.
Henry  hanya menggeleng dan menyuruh pramuniaga itu untuk segera membungkus jas tersebut.
“Tapi bagaimana bisa ayahnya memiliki permikiran semacam itu? putrinya itu bahkan baru tamat sekolah. Dia masih 17 tahun, bukan?” tanya Zhou Mi lagi tak mengerti.
“Apa aku harus menjelaskannya lagi padamu dari awal?” sahut Henry malas. Ia menatap Zhou Mi dengan alis terangkat.
“Oh, tidak perlu jika kau keberatan. Aku tahu kau tidak sepenuhnya tak mengenal gadis itu. Maksudku, kau bahkan mungkin sangat mengenal gadis itu,” ucapnya sambil memegangi dagu dengan sebelah tangannya.
Henry mengerutkan kening. “Maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
“Hei! Henry Lau, kau tidak perlu berpura-pura bodoh di depanku,” sahutnya sambil menyenggolkan sebelah sikunya ke lengan kanan Henry.
****
Natsumi berjalan dengan langkah lebar menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai 2. Ia mendengus kesal sambil sesekali mencibir tak jelas. Setiap hentakan kakinya terdengar keras menandakan kekesalannya yang mendalam. Ia membuka pintu kamarnya dengan kasar dan membantingnya lalu menguncinya.
Marcus menyusul Natsumi di belakang setelah mendapat perintah dari Robert.
“Marcus, tolong bujuk anak itu. Dia tipe gadis yang keras kepala, kau tahu itu. Sayangnya Henry sedang mengurus keperluan pernikahan mereka. Hanya kau yang bisa membujuknya selain pria itu,” ucap Robert tegas dan penuh penekanan.
Ia melihat piring Natsumi yang masih penuh dengan makanan dan berkata lagi. “Suruh dia menghabiskan makanannya. Aku tak ingin melihat putriku satu-satunya jatuh sakit.”
Tok Tok Tok
Natsumi mendengus mendengar ketukan pintu di depan kamarnya. Pasti Marcus, selalu saja dia yang datang untuk membujukku, pikir Natsumi.
“Pergilah Marcus. Aku sedang tidak ingin bicara padamu,” teriak Natsumi dari dalam kamarnya.
“Nona muda, Tuan meminta anda untuk turun dan menghabiskan makanan anda.”
“Aku tidak mau! Katakan pada Daddy aku tidak mau makan sampai Daddy membatalkan keputusan untuk menikahkan aku dengan pria itu!”
“Nona jangan seperti ini. Nona harus makan. Tuan tidak mau Nona sampai jatuh sakit,” jelasnya cemas.
“Sudah kukatakan aku tidak mau, Marcus. Jangan membujukku lagi! Kau bahkan tidak mau membelaku di depan Daddy!” sahutnya lagi. Kali ini ia mengerucutkan bibirnya tanda merajuk.
“Maafkan aku Natsumi. Sekarang, bukalah pintunya. Biarkan aku masuk,” pinta Marcus. Kali ini ia menggunakan bahasa non formal. Itu artinya ia sudah mulai menganggap Natsumi sebagai gadis biasa seperti yang sering ia lakukan saat gadis itu mulai merajuk padanya.
“Aku sedang ingin sendiri!”
“Kumohon Natsumi.”
“Aku tidak ingin bicara padamu, Marcus. Pergilah.”
“Tapi aku perlu bicara padamu.”
Natsumi mendecakkan lidah dan mulai turun dari ranjangnya. Natsumi sebenarnya saat ini sangat membutuhkan teman bercerita. Tentu saja dalam hatinya ia berharap Marcus mau mendengarkan keluh kesah yang akan ia sampaikan. Tapi sayangnya saat ini Marcus tidak sedang berpihak padanya.
Ia membuka pintu kemudian mengeluarkan kepalanya sedikit dari balik pintu. Hanya untuk sekedar bisa melihat wajah Marcus.
“Mau bicara apa?” tanya Natsumi malas.
“Biarkan aku masuk dulu,” jawab Marcus sambil mendorong pintu bercat kuning gading itu. Sayangnya Natsumi menahan pintu itu.
“Tidak usah. Di sini saja,”  kata Natsumi dengan wajah datar memandang Marcus.
Marcus mengulurkan tangannya menggapai puncak kepala Natsumi, mengelusnya pelan. Hal yang biasa ia lakukan untuk menenangkan hati gadis itu. Natsumi membiarkannya saja. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
“Aku tahu kau sedang kesal padaku,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
“Memang,” jawab Natsumi acuh.
“Karena aku tidak mau membantumu?”
“Ya, tentu saja. Memangnya apa lagi?!”
“Karena itu kau juga tidak mau lagi bicara padaku?” tanya Marcus dengan suara lembutnya.
Kali ini Natsumi mengangkat wajahnya. Menatap mata coklat muda pria itu. Wajah Marcus adalah wajah khas orang Amerika, tapi ia memiliki mata coklat yang indah. Melihat mata teduh Marcus membuatnya tertunduk kaku.
“Si…siapa bilang?” jawab Natsumi terbata. Tidak, bukan itu maksudnya. Sekalipun ia marah pada pria ini. Ia takkan sanggup jika tak bicara dengannya sehari saja.
“Kalau begitu bisakah kau membuka pintu ini sekarang?”
Natsumi menghela napas pasrah dan membuka pintu. “Baiklah, kau boleh masuk.”
Gadis itu saat ini memang membutuhkan seseorang untuk melampiaskan segala kekesalannya. Walaupun sekarang Marcus tidak berpihak padanya, setidaknya ia bisa mengurangi beban yang ada di benaknya. Ia bisa bercerita dengan nyaman pada Marcus.
****
“Kalian sudah bersama selama tiga tahun, bukan?” ucap Zhou Mi sambil berjalan menuju tempat parkir mobil mereka.
Henry sontak menoleh pada pria yang berjalan di sampingnya. “Apa?” sahutnya dengan kening berkerut.
“Apa?” ucap Zhou Mi, mengulang pertanyaan Henry. “Itu memang benar, bukan? Kau selalu mengikutinya kemanapun ia pergi selama tiga tahun ini,” jelas Zhou Mi.
Henry terkekeh kecil. “Kau mengucapkannya seolah aku memiliki hubungan khusus dengannya.”
“Tapi kalian memang punya hubungan khusus,” sela Zhou Mi.
“Ya, hanya sebatas pekerjaan,” sahut Henry menegaskan.
“Kurasa lebih dari itu.”
Henry memutar bola matanya malas. “Zhou Mi! Aku hanya pengawalnya. Bo-dy-guard! Kau dengar?!”
“Tepatnya pengawal pribadi,” tambah Zhou Mi.
Rekannya yang satu ini memang suka sekali menggodanya. Ia begitu tertarik dengan hubungan Henry dan gadis itu. Lebih tepatnya terobsesi, entah karena apa. Pria cerdas yang mempunyai pemikiran sendiri.
“Tapi sekarang sepertinya kau sudah naik jabatan. Bukan pengawal pribadinya lagi, melainkan calon suaminya.”
Ucapan rekannya barusan sukses menghentikan langkah kaki Henry. Henry memandang Zhou Mi yang sedang berdiri di seberang pintu mobilnya.
“Bukankah itu yang diinginkan ketua selama ini?”
Zhou Mi mengangkat bahu dan membuka pintu mobil. “Yah, begitulah,” sahutnya acuh. Kemudian masuk ke dalam mobil Mercedes hitam itu.
Tak ada pembicaraan lebih setelah itu. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Henry menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Membuat mobil itu melaju kencang di jalanan besar kota Tokyo.
***
Henry melangkahkan kakinya memasuki ruangan mewah rumah itu. kedua tangannya menenteng beberapa tas besar. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan kemudian tersenyum miring. Zhou Mi sendiri sudah pergi ke ruangan Robert karena mendapat panggilan dari atasannya itu.
“Kau sudah pulang?”
Henry menolehkan wajah menatap pria tinggi yang sedang berjalan menuruni anak tangga rumah itu.
“Ya, baru saja,” sahut Henry sambil mengangkat bahu. Ia berjalan mendekati tangga menghampiri Marcus. “Di mana Natsumi?” tanya Henry sambil mengangkat wajah menatap Marcus.
“Ada di kamarnya,” jawab Marcus tanpa memalingkan pandangan dari Henry.
Henry baru saja akan menaiki anak tangga saat tiba-tiba tangan Marcus menahan sikunya. Henry berhenti dan menoleh. Mata coklat milik Marcus beradu dengan mata biru milik Henry.
“Pastikan kalau kau tidak akan memperburuk keadaan dengan menemuinya. Dia sedang dalam keadaan mood yang tidak baik hari ini. Dan itu semua karena ulahmu,” ucap Marcus dengan nada dingin. Kentara sekali kalau Marcus tidak menyukai pria ini.
Entah kenapa, sejak pertama kali bertemu dengan Henry dalam acara itu 3 tahun yang lalu. Ia selalu merasan ada yang aneh dengan pria itu. Tapi sayangnya ia tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk membuktikan perasaannya itu. Perasaan aneh yang membuatnya tidak suka pada pria ini. Lalu pada akhirnya Marcus hanya memendamnya saja tanpa melaporkan atau berbuat apapun. Dan Henry sadar akan hal itu.
“Tenang saja. Aku yang akan bertanggung jawab atas kekesalan calon istriku,” sahut Henry sambil tersenyum miring. Ia melepaskan cengkraman tangan Marcus dari sikunya. Kemudian ia melangkah lagi menaiki anak tangga melewati Marcus menuju kamar Natsumi.
***
Natsumi membuka pintu dengan malas saat mendengar ada yang mengetuk pintu kamarnya lagi.
“Ada apa lagi Mar…” Natsumi menghentikan kata-katanya saat menyadari bukan Marcus yang berdiri di depan pintu kamarnya, melainkan Henry. Pria yang akan menjadi suaminya nanti. Pria yang mampu membuat mood-nya hancur dalam sekejap.
“Mau apa kau?!” pekik Natsumi sambil membulatkan matanya.
“Tidak ada. Aku hanya ingin masuk ke kamarku.”
“Apa?!” belum sempat Natsumi melanjutkan, Henry tanpa aba-aba sudah melangkah masuk ke dalam kamar yang didominasi dengan warna ungu itu.
Natsumi segera mengikuti Henry dari belakang dan berdiri tegak di hadapan pria itu. Tidak membiarkannya melangkah lebih jauh lagi.
“Kau tidak punya mata, eoh? Ini bukan kamarmu! Kau bahkan tidak tinggal di sini! Apa apartement mewah yang sudah di sediakan ayahku itu tidak cukup untukmu?!” teriak Natsumi sambil berkacak pinggang.
“Kenapa kau marah-marah?” tanya Henry acuh. Ia memiringkan kepalanya menatap Natsumi.
“Kenapa?! Hei! Apa ocehanku barusan kurang jelas? Tidak ada yang mengijinkanmu masuk kemari! Cepat keluar dari kamarku!” lanjut Natsumi penuh emosi. Saat ini mood-nya sedang tidak baik dan pria ini  malah seenaknya saja menganggu ketenangannya.
“Hei! Gadis bodoh. Aku ini calon suamimu. Apa kau lupa, eoh?” jelas Henry sambil menaruh barang-barang bawaannya ke lantai ruangan itu.
“Tentu saja aku tidak lupa kalau pria menyebalkan sepertimu ini adalah calon suamiku! Dan kau seharusnya berpikir dengan otakmu yang sok pintar itu, kau masih sebatas calon untukku! Ca-lon!” pekik Natsumi dengan penekanan di setiap kata. “Kita sama sekali belum menikah! Kau paham?! Sekarang keluar kau dari kamarku!” lanjut Natsumi sambil melayangkan telunjuknya ke arah pintu menyuruh pria itu untuk segera keluar.
Henry tidak menghiraukan teriakan Natsumi. Ia berjalan santai melewati gadis itu dan duduk di pinggir ranjang. Setelah membuka sepatunya, Henry merenggangkan otot-ototnya yang kaku kemudian menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur empuk berwarna ungu milik gadis itu.
“Kau diamlah sebentar. Aku ingin tidur. Seharian mengurusi keperluan pernikahan kita benar-benar membuatku lelah,” gumam Henry sambil menguap.
Sedetik setelah ia mengataka itu, Henry sudah memejamkan mata. Pria itu tertidur pulas di atas ranjang empuk berbulu. Dan sedetik kemudian hanya terdengar suara teriakan seorang gadis di ruangan itu yang memanggil namanya dengan kesal.
“HENRY LAU!!!!”
****

Posting Komentar Blogger Disqus

 
Top