Chapter 2
Henry membuka matanya perlahan. Ruangan itu diselimuti dengan kegelapan. Tak ada apapun karena matanya memang tak dapat melihat apapun. Semuanya terlihat gelap. Ia melangkah perlahan meraba-raba apapun yang bisa ia gapai. Pandangannya mengedar ke sekeliling dan tiba-tiba ujung matanya menangkap sesuatu. Secercah cahaya muncul menerangi sebuah kursi yang diduduki oleh seorang wanita paruh baya. Tubuh wanita itu diikat dengan tali tambang bersama kursi tersebut.
Henry tersentak kaget. Tiba-tiba emosinya memuncak seketika dan rasa perih yang sudah lama ia kubur terkuak kembali. Luka itu menganga lebar. Membuat dadanya naik turun mengatur napas yang memburu.
Seorang pria paruh baya berdiri di samping wanita paruh baya itu. Wajah pucatnya memancarkan kesedihan yang mendalam. Ia menggenggam erat tangan wanita paruh baya yang sedang duduk itu kuat-kuat. Tepat pada saat itu sebuah cahaya lagi muncul. Menerangi sebuah bangku mewah yang diduduki oleh seorang pria yang tidak asing lagi di matanya. Di sampingnya juga berdiri seorang pria tinggi berkulit putih susu dengan mata coklat. Kedua wajah pria itu dingin dan datar. Menatap lurus ke arah pasangan suami istri di hadapannya.
Henry mengepalkan tangannya keras-keras. Ia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah. Ada hasrat ingin membunuh yang begitu besar setiap kali melihat wajah itu. Tepat pada saat Henry baru melangkahkan kakinya satu langkah mendekat, pria paruh baya dengan wajah dingin itu menodongkan sebuah pistol. Dan dalam hitungan detik terdengar dentuman keras dari pistol itu.
Henry mengarahkan pandangannya pada dua orang suami istri yang telah berlumuran darah di hadapannya. Hatinya terasa teriris. Tubuhnya bergetar hebat. Lututnya melemas dan matanya menghangat. Butiran bening itu meluncur bebas dari kedua sudut matanya tepat saat ia memekik nama dua orang tersebut.
Mom! Dad!”
Ia menangis sejadi-jadinya. Ia berjalan kaku menghampiri kedua tubuh tak berdaya itu. Tangannya bergetar hebat memeluk jasat kedua orang tuanya dengan hati miris. Amarahnya tiba-tiba mencuat. Mengguncang jantungnya. Mendorong dirinya untuk berteriak.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrgggghhhhttttttt!!!”
****
            Natsumi menggeram melihat Henry dengan santainya tertidur pulas di atas ranjang miliknya. Ia terus saja memanggil nama pria itu sejak satu jam terakhir. Ia bahkan sudah memukuli Henry dengan bantal, namun pria itu tetap saja tidak terbangun.
            Henry Lau, pria belasteran Amerika-Hongkong yang datanga ke Jepang untuk menjadi bodyguard profesional. Pria dingin dan pemaksa yang selalu merecoki kehidupan Natsumi. Sejak bertemu dengannya 3 tahun yang lalu dalam sebuah acara bodoh yang diselenggarakan sang ayah dengan judul “Pencarian Bodyguard Terbaik”. Membuat hidupnya benar-benar terusik. Henry adalah satu-satunya pria yang berani bicara kasar padanya.
            Tentu saja bukan hanya dia yang terdaftar. Ada begitu banyak peserta yang ikut dalam acara tersebut karena tergiur dengan imbalan yang begitu besar atau sekedar memang ingin mengabdikan diri pada ayahnya. Sebuah vila dan pulau disediakan untuk bodyguard yang berhasil menunjukkan kemampuannya untuk melindungi putri tunggal seorang gangster terkaya se-Jepang.
Ada banyak kriteria yang dibutuhkan untuk mengikuti lomba tersebut. Salah satunya peserta harus menguasai bela diri dan kerate. Kesehatan fisik sangat dibutuhkan di sini. Dan kemampuan berkelahi adalah faktor utama yang cukup menentukan bagi para peserta. Tidak hanya berkelahi dengan tangan kosong, kemampuan memegang senjata tajam dan senjata api juga diuji. Harus mampu mengendarai segala jenis kendaraan. Karena sudah pasti bodyguard pribadi akan mengawal majikannya kemanapun ia pergi sampai keluar negeri sekalipun.
Memiliki IQ di atas rata-rata dengan kata lain cerdas tentu saja. Pandai berkelahi dan tidak segan untuk membunuh musuh. Dan yang terakhir, pria itu harus menarik, putih, tinggi, dan tampan. Persyaratan terakhir itu Natsumi sendiri yang meminta pada ayahnya. Dengan alasan ia tidak mau diikuti oleh seorang bodyguard yang lusuh dan berwajah menyeramkan. Dan sialnya, hanya pria ini yang memenuhi semua syarat dan memenangkan lomba setelah bertarung dengan kandidat lainya.
Natsumi menghela napas kasar dan mengacak rambutnya frustasi. “Kenapa dia tidak bangun juga? Bagaimana bisa ada manusia semacam ini?” gerutunya kesal.
Tiba-tiba saja ia sadar bahwa yang ia lakukan sejak tadi itu sia-sia saja. Natsumi mendudukkan tubuhnya di pinggir ranjang. Membangunkan pria ini ternyata membutuhkan tenaga besar dan kesabaran ekstra. Ia mendecak kesal sambil melirik wajah Henry yang tertidur pulas.
Kening Henry tiba-tiba berkerut samar. Membuat Natsumi memajukan wajahnya sedikit pada Henry. Memastikan apakah pria itu sudah terbangun, dan lagi-lagi ia hanya bisa mendengus saat menyadari Henry masih tertidur pulas. Tanpa sadar ia terus saja memperhatikan lekuk wajah pria itu. Ekspresi tidur yang beraneka ragam yang pria itu tunjukan membuat Natsumi tertarik untuk terus memperhatikan wajah Henry. Kali ini ia menangkap ekspresi sedih di wajah Henry. Bahkan ada seberkas air mata yang mengalir dari kedua sudut mata pria itu.
“Kenapa dia menangis? Apa dia sedang mimpi buruk?” gumam Natsumi pada diri sendiri, lalu gadis itu terkekeh kecil. “Mimpi buruk macam apa yang bisa membuat pria menyebalkan seperti dia menangis?” ucapnya sembari membuang pandangan ke samping. Tidak habis pikir dengan ekspresi pria ini. Kemudian ia berpaling lagi menatap pria itu.
Tepat pada saat itu Henry membuka matanya sambil menjerit dan terduduk. Wajah mereka pasti sudah bertabrakan kalau saja Natsumi tidak reflex menggeser wajahnya ke belakang.
Henry terdiam mematung. Begitu juga dengan Natsumi. Hening sesaat. Gadis itu malah berusaha menahan napasnya yang tiba-tiba tercekat karena jarak mereka yang terlalu dekat. Mata biru mereka beradu. Mungkin ia bisa pingsan kalau saja tangannya tidak menahan tubuhnya di belakang dan mencengkram tempat tidur itu dengan kuat. Mata biru milik Henry benar-benar menghanyutkan daya kerja otaknya.
Natsumi segera mengumpulkan kesadarannya kembali dengan susah payah. Ia menelan ludah dan bersiap untuk berteriak di hadapan pria itu. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat kembali bantal besar yang ada di tangannya dan melayangkannya ke kepala Henry.
BUK
Henry yang belum sadar sepenuhnya dari tidurnya sontak terhenyak kaget dan oleng ke belakang. Ia memegangi kepalanya sambil meringis.
“Apa yang kau lakukan gadis bodoh?” ucap Henry di sela rintihannya. Pukulan barusan sukses membuat kepalanya pusing.
Natsumi tidak menghiraukan rintihan Henry. “Kau tak perlu berkomentar. Keluar saja sekarang dari kamarku. Sudah 1 jam kau tertidur di sini dan itu benar-benar membuatku muak!” sahut Natsumi sambil memukul-mukulkan bantal besar itu ke kepala Henry.
Henry terguling-guling di atas tempat tidur itu sambil meringis. “Hei! Hentikan! Hentikan!” pekik Henry.
“Sudah kukatakan keluar kau dari kamarku, pria menyebalkan!” Natsumi terus mengayunkan pukulan itu semakin lama semakin keras. Menghantam kepala Henry yang baru saja terbangun. Bayangkan saja seperti apa rasanya..
“Hentikan dulu pukulanmu ini. Aku bisa kena amnesia karena ulahmu!”
“Tidak mau! Sebelum kau berjanji tidak akan masuk lagi ke kamarku tanpa izin! Dan berhenti memanggilku dengan sebutan ‘gadis bodoh’!!”
“Janji macam apa itu? Aku tidak mau!” protes Henry.
“Sudah cepat katakan! Kau harus berjanji padaku, pria menyebalkan!!” sahut Natsumi kesal.
Kesabaran gadis itu habis sudah. Setelah beberapa kali berdebat dengan pria ini dan masih tidak menemukan jalan lurus sesuai keinginannya. Natsumi berpikir bahwa Henry bukanlah pria yang bisa diajak kompromi, dan seharusnya ia sudah menyadari hal ini sejak awal. Tapi entah kenapa ia bisa berharap kalau pria ini akan mengalah padanya, harapan yang sia-sia tentu saja. Ia menyesali otaknya yang tiba-tiba saja bekerja dengan tidak seharusnya.
Ia berdiri di atas ranjang dan menarik siku pria itu, menyeretnya turun dari tempat tidur ungu kesayangannya. Sebelum Henry mendapatkan kembali kesadarannya, Natsumi sudah bersiap-siap melancarkan jurus taekwondo yang sudah ia pelajari sejak kecil. Dan dalam sekali hentakan ia sukses membuat Henry terkapar di lantai ruangan itu.
Henry memegangi sebelah lengannya meringis kesakitan. Ia menatap Natsumi yang sedang berdiri berkacak pinggang di hadapannya.
“Kalau bukan karena permintaan ayahku. Aku tidak akan mau menikah denganmu. Batalkan saja pernikahan kita. Kau benar-benar menggangguku!” ucap Natsumi penuh emosi.
Henry mencoba berdiri. Sepertinya keseimbangannya sudah mulai pulih. Biar bagaimanapun ia adalah bodyguard terbaik pilihan Robert. Ia menatap wajah gadis itu dan tersenyum licik.
“Tidak akan,” sahutnya santai namun terkesan tegas.
“Kau!” Natsumi memekik. Ia berjalan mendekati Henry kemudian memasang kuda-kuda untuk menjatuhkan pria itu lagi tapi sayangnya kali ini ia tidak berhasil.
Henry melirik Natsumi dengan senyum yang semakin mengembang. Kemudian dengan sekali hentakan ia memutar tubuh Natsumi. Membantingnya ke lantai namun ia tidak membiarkan kepala gadis itu terbentur. Ia menahannya dengan sebelah tangannya.
“Kau tidak lupa, bukan? Kalau aku ini adalah bodyguard terbaik pilihan ayahmu. Jadi, daripada membuang-buang tenaga. Lebih baik kau diam dan menurut,” bisik Henry tepat di telinga Natsumi.
Semenit setelah mengatakan hal itu, Henry bangkit berdiri dan berjalan santai dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana, menuju pintu keluar kamar itu.
Natsumi lagi-lagi menggeram. Jantungnya tadi sesaat berhenti berdetak saat bibir tipis Henry mendekati telinga gadis itu, dan ia sangat tidak suka akan hal itu.  Sekarang ia hanya bisa terduduk menatap kepergian pria itu dari dalam kamarnya. Sesuatu yang membuat hatinya lega sekaligus kesal.
***
Marcus menuruni anak tangga dengan tergesah. Kabar yang mengatakan bahwa salah satu pulau yang berada di Negara Thailand tepatnya di kawasan segitiga bermuda Asia Tenggara, pusat penghasil obat-obatan terlarang terbesar yang menjadi hak millik Tuannya  -Robert- telah di rebut oleh pihak lain yang mengatas namakan dirinya sebagai Tuan Robert, berhasil menyita waktunya untuk beberapa hari terakhir sampai ia mendapatkan informasi kepastian tentang identitas pelaku tersebut dan sesegera mungkin memberitahukannya pada yang empunya.
Ia berhasil menemukan beberapa barang bukti berupa kartu nama yang di palsukan atas pengirim anak buahnya yang sengaja di tempatkan di Thailand untuk mengawasi pulau tersebut.
“Beberapa hari yang lalu terjadi sebuah penyerangan mendadak pada marcas anak buah kita di pulau itu yang menewaskan lebih dari separuh anggota. Serangan mendadak itu dilancarkan pada saat tengah malam. Ketika mereka semua lengah. Dari hasil penyelidikan, ternyata terdapat beberapa mata-mata dalam anggota kita. Mereka sudah mengintai kesempatan ini sejak lama. Setelah mengumpulkan cukup banyak pasukan. Mereka akhirnya melakukan penyerangan mendadak tengah malam. Sudah di pastikan alokasi waktu yang tepat karena koneksi orang dalam yang cukup memiliki pengaruh besar dalam pengendalian sistem keamanan markas tersebut,” jelas Marcus panjang lebar setelah ia memasuki sebuah ruangan khusus dan berjumpa dengan Robert. Ruangan itu di dominasi dengan warna hitam dan abu-abu. Ada beberapa rak buku besar di sana. Dan beberapa peti di sudut ruangan.
Robert menyipitkan matanya menatap berkas-berkas barang bukti yang dibawa oleh Marcus.
“Siapa mata-mata itu?”
“Tong Lee Hae, dia orang Thailand yang sengaja kita bayar untuk menjadi anggota dua tahun yang lalu. Mantan kepala bandar narkoba terbesar di sana,” jelas Marcus lagi.
“Apa kau sudah menangkapnya?” tanya Robert tanpa berpaling dari berkas-berkas di hadapannya. Ia membalik halaman demi halaman dan membaca laporan itu dengan seksama.
“Sudah Tuan. Zhou Mi beserta pengawal lainya sudah saya kirim ke sana untuk menangkap pengkhianat itu. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan kemari. Kira-kira satu jam lagi mereka akan sampai,” sahut Marcus setelah melirik jam tangan gold di pergelangan tangannya.
Robert tertawa sambil mendengus. Ia meremas ujung dokument itu dengan sekuat tenaga kemudian membantingnya dengan kasar.
“Berani-beraninya dia mengkhianati kepercayaanku. Dasar bocah tengik cari mati!”
****
            Tong Lee Hae didudukkan oleh Zhou Mi di sebuah kursi tua yang telah disediakan sejak tadi. Pria itu tak bisa melakukan apa-apa kecuali mengumpat kasar karena kedua tangan dan kakinya di borgol. Selasiban hitam yang membungkam mulutnya sengaja dibuka oleh Zhou Mi setelah mendapat perintah dari Robert yang baru datang memasuki ruangan itu beberapa menit yang lalu. Wajah dingin Robert menatap lekat-lekat mata pria itu.
            “Katakanlah apa yang ingin kau katakana sepuasmu. Sebelum mulutmu itu tak berfungsi lagi untuk mengatakan apapun,” ucap Robert dingin.
            Saat ini mereka sedang berada dalam sebuah ruangan bawah tanah rumah itu.  Ruangan yang sering  digunakan untuk menghakimi para pengkhianat tak berotak seperti Tong Lee Hae.
            Robert memberikan aba-aba pada Zhou Mi untuk menodongkan sebilah pisau tajam ke leher jenjang Tong Lee Hae.
            “Katakan siapa saja yang bersekongkol denganmu dalam hal ini? Kalau kau mau mengatakannya, setidaknya aku masih bisa berbesar hati untuk tidak menghancurkan keluargamu setelah kau mati nanti,” ucap Robert sambil menyenderkan punggungnya ke belakang kursi sandar itu. Berusaha untuk tetap rileks walaupun sebenarnya ia sudah tidak saabr lagi untuk menghabisi nyawa pengkhianat di hadapannya ini.
Tong Lee Hae tidak menyahut. Pria itu menatap Robert dengan mata tajam. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang penuh dengan luka lebam.
Robert melipat kedua tangannya di depan dada sambil menarik napas panjang. “Yah, setidaknya aku tidak perlu susah-susah untuk mencari tahu pengkhianat lainnya jika kau mau memberitahuku. Bisa dikatakan, memudahkan jalanku untuk menghancurkan orang-orang macam kalian,” jelasnya tanpa berkedip.
Tong Lee Hae tertawa lebar kemudian meludah. “Aku tidak sudi memberitahukannya padamu! Bunuh saja aku, Robert!” sahut Tong Lee Hae penuh emosi.
Pria itu sudah menyadari akan hal ini. Lama kelamaan ia pasti akan tertangkap oleh Robert. Ia sudah memprediksi semuanya. Ia sama sekali tidak mau lagi mengabdi pada seorang ketua gangster yang tidak berperasaan seperti Robert. Ia merasa kurang dengan uang imbalan yang ia terima. Kemudian ia berusaha untuk menjual pulau milik Robert dan membawa kabur seluruh uangnya. Tapi sialnya ia justru tertangkap. Walaupun ada harapan dalam dirinya ia akan lolos dari tangkapan itu. Namun sayangnya itu adalah harapan yang sia-sia.
“Kau yakin tidak mau memberitahukannya padaku?” Pertanyaan Robert membuatnya mengangkat kepala menatap pria paruh baya itu.
Ia menyipitkan matanya melihat Robert memberi aba-aba pada Marcus untuk menyerahkan beberapa lembar kertas tebal padanya. Dan ketika Tong Lee Hae melihat kertas yang ditunjukkan Robert padanya, napasnya langsung tercekat. Matanya membulat. Ia menggeram marah. Robert menunjukkan beberapa foto anak dan istri Tong Lee Hae yang sedang duduk di sebuah ayunan depan rumah bergaya Canada.
“Ini foto keluargamu, bukan? Dilihat dari tempatnya sepertinya aku tahu mereka saat ini tinggal di mana,” sambung Robert ringan kemudian terkekeh kecil. “Kau memang pintar Tong Lee Hae. Begitu memulai semua kekacauan ini kau langsung mengirimkan anak istrimu keluar negeri untuk menyembunyikan mereka. Tapi sayangnya kau tidak lebih pintar dariku,” ucap Robert dengan senyum licik.
“Kau tahu, cukup mudah bagiku untuk mengumpulkan berbagai informasi tentang keluargamu. Jadi jika kau tidak mau bekerja sama denganku menangkap pengkhianat-pengkhianat itu. Sejujurnya itu tak jadi masalah untukku.”
Tong Lee Hae semakin menggeram. Ia mulai meronta-ronta minta dilepaskan. Umpatan kasar kembali keluar dari dalam mulutnya. Mengutuk Robert berpuluh-puluh kali namun kali ini reaksinya tak diperdulikan oleh Robert.
Robert sudah bosan dengan percakapan membosankan ini dan akan segera mengakhirinya. Robert memberikan tanda pada Zhou Mi untuk menjauh dari Tong Lee hae. Ia berdiri dari tempat duduknya sambil memegang pistol yang di serahkan oleh Marcus. Kemudian ia menodongkannya pada pria Thailand yang sudah gemetaran hebat di hadapannya. Robert mengangkat dagu, dan dalam sekali tarikan pelatuk ia berhasil membuat tubuh itu menggeletar tak bernyawa.
*****
            Tring Tring Tring
            Bunyi gesekan pedang terdengar nyaring dalam sebuah ruangan luas dengan kaca di sekelilingnya. Hentakan kaki yang sejalan dengan ayunan pedang terus berlanjut. Beradu benda tajam dan tolakan menghujam. Terdengar beberapa teriakan dari para penonton yang berpakaian serba hitam dilengkapi dengan sepatu kulit dan kaca mata senada. Seruan para penonton terhenti seketika saat salah satu di antara dua orang yang sedang bertarung itu terkena tebasan pedang dan terjatuh. Semua pengawal tersebut langsung berhamburan melihat keadaan gadis itu.
            Natsumi meringis menahan sakit di lengan kanannya. Tak ada luka sama sekali karena ia menggunakan baju pelindung. Namun pukulan yang cukup keras dari pedang tersebut sukses membuat lengannya membiru.
            “Nona tidak apa-apa?”
            “Apa yang terjadi?”
            “Bagaimana ini?”
            “Seharusnya kau tidak menyerangnya.”
            Terdengar sahutan yang tumpang tindih dari para pengawal dan pelayan yang menyaksikan kejadian di ruangan itu.
            “Aku tidak apa-apa,” ucap Natsumi sambil tersenyum kecil.
            Mereka semua pastinya takut kalau ayahnya akan marah besar pada pengawal-pengawalnya itu kalau terjadi hal yang tidak diinginkan pada dirinya. Ia melirik seorang pria dengan tubuh tegap yang  tengah melihatnya dengan wajah cemas –orang yang menyerangnya barusan-.
            Sensei, latihannya kita lanjutkan lain kali saja. Sepertinya aku sedang tidak bisa berkonsentrasi.”
            “Baiklah Nona muda. Maafkan saya,” sahut pria yang dipanggil sensei itu sambil membungkuk dalam.
Natsumi juga mmebungkukkan tubuhnya sebentar kemudian berjalan keluar dari ruangan itu setelah sebelumnya menaruh pedang di rak yang berjejer rapi di salah satu dinding ruangan.
            Natsumi berjalan dengan sebelah tangan memegangi lengannya yang sakit melewati sebuah lorong yang didominasi dengan warna putih itu. Disetiap dindingnya tergantung lukisan-lukisan antik khas berbagai Negara. Ia menghentikan langkah kakinya saat matanya menangkap tiga orang pria berjass hitam sedang berjalan ke arahnya.
            Natsumi segera berdiri tegak dan melepaskan pegangan tangannya pada lengan kirinya. Berusaha bersikap biasa saja. Kemudian ia membungkuk kecil saat ketiga orang tersebut berhenti tepat di depannya.
            Good afternoon, Daddy,” sapa Natsumi sambil melayangkan senyum termanisnya. Berusaha menutupi rasa nyeri yang menjalari lengan kirinya.
            “Angel, my daughter. Good afternoon. Bagaimana dengan latihanmu siang ini putriku?” balas Robert sambil mengembangkan senyumnya.
            Well, menyenangkan. Maksudku, seperti biasa. Sensei yang mengajariku sangat ahli dalam memegang pedang,” jawab Natsumi sambil tersenyum kaku. Ia menatap Marcus sekilas yang berdiri di samping ayahnya.
            “Tapi bukankah waktu latihanmu masih tersisa setengah jam lagi? Kenapa kau sudah keluar, Angel? Apa terjadi sesuatu?” ucap Robert setelah melirik jam tangan gold yang melingkar di pergelangan tangannya.
            “Tidak, Daddy! Tidak ada yang terjadi,” jawab Natsumi cepat. Terlalu cepat. Kemudian ia melanjutkan. “Aku hanya sedang malas latihan, Daddy. Aku ingin istirahat sebentar.” Ia tidak mungkin mengatakan kalau lengannya membiru akibat tebasan pedang sensei. Jika ia mengatakan itu, ia tidak akan menjamin kalau pria ahli pedang itu akan pulang hidup-hidup dari  rumah ini.
            Robert baru saja akan membuka mulutnya untuk bicara pada Natsumi namun dibatalkannya karena tepat pada saat itu Marcus memotong pembicaraan mereka dengan menyerahkan telepon genggam Robert yang berbunyi nyaring.
            Natsumi tidak begitu memperhatikan apa yang ayahnya bincangkan di telepon. Ia hanya menangkap beberapa kata yang diucapkan ayahnya, “Keberangkatannya akan dilakukan sehari setelah pernikahan putriku..” karena setelah itu ia sibuk menahan rasa sakit yang semakin nyeri di lengannya. Sejenak ia melirik Marcus yang tengah memperhatikannya dengan raut wajah khawatir.
            Ya, Marcus adalah satu-satunya orang yang mengerti dirinya dengan sangat baik. Marcus bahkan bisa tahu kalau Natsumi sedang berbohong atau tidak hanya dengan menatap mata gadis itu. Dan saat ini tentu saja Marcus sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Natsumi.
            Natsumi membungkukkan tubuhnya sekilas setelah ayahnya, Marcus dan Zhou Mi berjalan melewatinya. Ia kembali menyeret langkahnya ke kamar sambil memegangi sebelah lengannya.
            “Berpura-pura di depan Daddy itu mudah, tapi tidak dengan Marcus. Semoga dia tidak mengatakan apapun pada Daddy,” gumamnya dalam hati.
            Natsumi baru saja masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengganti pakaian dengan baju santai kesayangannya. Ia langsung masuk ke kamar mandi setelah sebelumnya mengambil kursi kecil di samping lemarinya. Ia mengaduk-aduk isi lemari obat miliknya. Ia berdiri di atas kursi kecil itu karena letak lemari itu terlalu tinggi.
            Sebenarnya tidak terlalu tinggi kalau saja tinggi  Natsumi berkisar 170 cm. Masalahnya tinggi badan gadis itu hanya 160 cm. Terpaut 20 cm dari Henry dan Marcus. Terlalu pendek jika dibandingkan dengan mereka berdua. Natsumi segera menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. Kenapa aku membandingkan tinggi badanku dengan mereka? pikir Natsumi.
            Gadis itu segera mengambil kotak obat itu saat matanya menangkap benda berwarna putih dengan garis merah. Tapi tiba-tiba ia terkaget ketika mendengar telepon genggamnya berbunyi nyaring dan mengacaukan keseimbangannya. Gadis itu terjungkal ke bawah.
            Nastumi meringis kesakitan. Ia mengambil ponselnya yang tersimpan dalam saku celananya sambil mengumpat kesal. Ia tidak melihat terlebih dahulu nama yang tertera di layar saat ia menjawab telepon itu dengan suara lantam.
            “Halo!”
            “Kau kenapa?” suara yang tidak asing lagi di telinganya. Ia segera menjauhkan telepon genggam itu dan melihat nama yang tertera di layar. Matanya membulat seketika dan hampir saja ia melepaskan telepon itu dari genggamannya.
****

Posting Komentar Blogger Disqus

 
Top