Chapter 7

Natsumi menusuk-nusukkan garpu pada daging steack di hadapannya dengan tidak bersemangat. Bibirnya mengerucut ke depan dan pipinya menggembung, membuat wajahnya yang cantik berubah tampak seperti balon. Ia sengaja membiarkan daging di hadapannya itu sejak satu jam yang lalu tanpa sekalipun memakannya. Berkali-kali ia melirik ke arah jam dinding di ruangan itu lalu mendengus kasar.
"Mau sampai kapan kau akan seperti ini, eoh?! Itu daging, bukan mainan. Jangan hanya di tusuk-tusuk saja. Sudah beberapa hari belakangan ini kau tidak makan. Kau ingin membuat ayahmu cemas dan membunuh kami semua, eoh?" Henry yang sejak tadi duduk di hadapanya akhirnya angkat bicara setelah membiarkan Natsumi melakukan hal aneh itu sesuka hatinya.
"Aku tidak akan memberitahu Daddy. Kau tenang saja. Daddy tidak akan membunuh kalian. Kecuali jika kau mengadu padanya,” ucap Natsumi ketus lalu melanjutkan. “Lagipula dia tidak akan tahu karna dia sedang tidak ada di rumah. Mereka bahkan belum pulang sampai sekarang. Padahal sudah hampir 2 minggu sejak keberangkatannya ke Thailand waktu itu dan besok pernikahanku denganmu akan dilangsungkan!" gerutu Natsumi panjang lebar.
Ya, saat ini ia sedang kesal. Kesal karena ayahnya belum pulang. Kesal karena besok adalah hari terburuk dalam hidupnya. Kesal karena Henry tidak mau membatalkan pernikahan mereka. Dan kesal karena Marcus tidak ada.
Sebenarnya ia membutuhkan Marcus sekarang. Ia ingin bercerita padanya. Ia ingin melihat wajah pria itu. Ia ingin melihat senyumanya. Ia ingin mendengarkan suaranya. Ia ingin merasakan sentuhan tangannya. Ia sangat ingin bertemu dengan Marcus. Ya, ia benar-benar merindukan pria itu.
"Memangnya kenapa? Kau benar-benar tidak ingin menikah denganku. Apa aku seburuk itu, eoh? Aku bahkan lebih tampan dari pria manapun. Kau lihat, tubuhku tinggi, kulitku putih, aku mempunyai rambut pirang dan mata biru yang indah, aku pandai berkelahi dan seorang bodyguard papan atas. Bayangkan, gadis mana yang berani menolak pesonaku?" katanya sambil melayangkan kedua tangan di udara, mengangkat bahu.
Natsumi mengangkat wajahnya mendengar Henry bercerita. Kata-kata Henry barusan membuatnya mual. Gadis itu mencibir dalam hati lalu menyahut.
"Aku. Aku yang berani menolak pesonamu, Henry Lau. Kau pikir hanya dengan mengandalkan itu semua kau bisa memikat hati gadis manapun, huh? Dan apa kau bilang tadi, tampan?" Natsumi mendengus dan terkekeh. "Apa aku perlu meminjamkannmu kaca? Bagaimana bisa wajah sepertimu di katakan tampan? Kau terlalu percaya diri," lanjutnya telak.
"Benarkah begitu?" desis Henry dengan suara rendah.
"Tentu saja!" sahut Natsumi ketus.
Henry kemudian melipat kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya pada Natsumi. "Lalu kenapa kau mau menikah denganku?"
Natsumi hampir memekik menjawab pertanyaan Henry. "Apa?!" tanyanya heran lalu melanjutkan. "Hei! Dengar ya Henry Lau yang sok pintar! Aku sama sekali tidak tertarik padamu! Sejak pertama kali kita bertemu di acara itu! Sejak kau menjadi pengawal pribadiku yang menyebalkan! Dan kau terus mengikutiku kemanapun aku pergi! Itu benar-benar membuatku risih! Aku sudah bertahan selama 3 tahun ini! Tapi sialnya, Daddy malah menjodohkanku denganmu dengan alasan menjaga keselamatanku! Dan kupertegas sekali lagi padamu, Henry Lau. Kalau bukan karena permintaan Daddy, aku tidak akan mau menikah denganmu!!" pekik Natsumi panjang lebar.
Gadis itu, apakah gadis itu benar-benar membencinya sampai seperti ini? Atau ia hanya melampiaskan kekesalannya saja pada Henry?
Henry tertegun di tempatnya. Ada hentakan keras yang menghantam jantungnya. Membuatnya hancur dalam waktu beberapa detik. Namun kepingan yang hancur itu seolah bergerak lambat. Menyisakan sayatan-sayatan luka. Sakit yang mendalam.
Henry sudah terbiasa dengan kata-kata kasar yang dilontarkan gadis itu padanya. Tapi entah kenapa, ucapan gadis itu kali ini benar-benar menohok hatinya.
Henry menunduk, menahan debaran jantungnya yang luar biasa hebat. Sedetik kemudian ia mengangkat wajah menatap Natsumi tepat di titik matanya dan tersenyum kecil.
"Tapi intinya kau mau menikah denganku, bukan?" ucapnya dengan suara senormal mungkin. "Besok adalah pernikahan kita dan aku yakin, tak akan ada yang bisa menghentikan hal itu, termasuk ayahmu dan Marcus," lanjutnya dengan nada dingin.
Natsumi mengerutkan keningnya menatap Henry. Apa maksud pria ini? Tak ada yang bisa menghentikan pernikahannya termasuk ayahnya? Omongan tidak masuk akal macam apa itu? Tentu saja kalau ayahnya meminta untuk membatalkan pernikahan mereka maka dengan senang hati Natsumi akan membatalakannya. Sekalipun itu sudah terlambat. Apa prediksi seperti itu tak terpikirkan sama sekali oleh Henry? Atau pria ini memang benar berniat menikahinya? Tapi untuk apa? Apa Henry mencintai Natsumi?
Henry hendak beranjak dari duduknya membawa piring makannya ke dapur saat Natsumi menghentikan langkahnya.
"Henry," panggil gadis itu.
Henry menoleh menatap Natsumi. Begitu juga sebaliknya. Mata biru mereka bertemu. Tiba-tiba ada sebersit rasa yang tersirat dalam tatapan itu. Membuat Natsumi terdiam sesaat.
"Kenapa?" tanya Henry membuyarkan lamunan Natsumi.
Seteleh menelan ludah dengan susah payah, Natsumi memberanikan diri untuk bertanya.
"Apa maksud perkataanmu barusan?"
Henry menghela napas. Pria itu sepertinya sedang tidak ingin menjelaskan apapun pada Natsumi. Tidak untuk saat ini.
"Tidak ada maksud apa-apa," sahutnya ringan.
Sebelum Henry melangkah lagi. Natsumi berkata lagi.
"Tapi kenapa kau mengatakan itu?" selanya cepat. "Kenapa kau bersih keras ingin menikahiku? Apa..... kau menyukaiku?" Pertanyaan terakhir ia katakan dengan nada ragu.
Henry sedikit tersentak. Ia berdiri mematung di tempatnya. Aku menyukai gadis ini? Tidak mungkin. Aku menikahinya untuk urusan balas dendam. Supaya aku lebih mudah menjebak ayah dari gadis ini. Supaya aku lebih muda menghancurkannya. Bukan karena aku menyukainya. Yah, benar begitu, bukan? tanya Henry pada diri sendiri. Sejenak Henry ragu akan perasaannya. Namun ia berusaha menyakinkan hatinya sebelum menjawab.
"Kau sedang ingin bercanda denganku, eoh?!" ucap pria itu sambil berbalik menatap tajam mata Natsumi. “Pertanyaan bodoh macam apa itu?!” cibir Henry.
Natsumi memutar bola matanya malas. Benar, harusnya ia tidak berpikir macam-macam tentang Henry. Pria ini menyukainya? Suatu hal yang sangat mustahil terjadi.
"Ya! Aku memang sedang bercanda!" sahut gadis itu sambil beranjak dari duduknya. "Dan kali ini kuakui, aku memang bodoh sudah menanyakan pertanyaan yang aneh itu padamu!! Aku sangat menyesal sudah menanyakannya! Benar-benar menyesal!" ucapnya dengan penuh penekanan.
Natsumi lantas berjalan melewati Henry dengan langkah lebar menuju dapur. Henry hanya memperhatikan gadis itu dalam beberapa detik dengan mulut terbuka.
"Ada apa dengannya?" gumam Henry pada diri sendiri, Kemudian menyusul gadis itu ke dapur.
*****
Natsumi menggerutu kesal. Sambil tetap mencuci piring. Ia berteriak sesekali dan merutuki dirinya sendiri yang telah menanyakan pertanyaan bodoh itu pada Henry. Bagaimana bisa otakku ini berpikir kalau dia menyukaiku?! Oh, astaga aku pasti sudah gila! gerutunya pada diri sendiri sambil mencuci piring itu dengan kekuatan di atas rata-rata. Menimbulkan bunyi yang terlalu berisik.
"Kau kenapa?" Sebuah suara mengagetkanya. Ia menoleh cepat dan mendapati Henry telah berdiri di sampingnya membawa piring makan.
"Untuk apa kau mengikutiku?!"
"Aku tidak mengkutimu."
"Lalu kenapa kau disini?!"
Henry menatap piring di tangannya. Sebenarnya ia ingin mencuci piring itu juga karena pembantu rumah itu sedang cuti. Tapi gadis ini membuatnya berubah pikiran.
"Nah! Cucikan sekalian!" seru Henry sambil menyodorkan piring di tangannya pada Natsumi.
"Seenaknya saja! Kau pikir aku pembantu!" pekik Natsumi dengan mata membulat.
"Tidak, belum, tapi tak lama lagi kau akan menjadi 'pembantuku'."
"Apa?!"
"Besok kita menikah. Setelah itu kau akan jadi pembantuku," jelas Henry dengan senyum merekah.
Natsumi menggeram. Ia tidak habis pikir kenapa pembicaraan mereka melenceng menjadi pembantu.
"Aku tidak sudi menjadi pembantumu, Henry Lau! Ambil piring ini dan cuci sendiri!" Natsumi mengembalikan piring itu lagi pada Henry.
"Tidak mau! Kau yang cuci!"
"Kau yang cuci!"
"Kau!
"Tidak, kau!
"Kau calon istriku, jadi kau yang harus mencucinya!"
"Dan itu artinya aku belum menjadi istrimu! Kau cuci sendiri!"
"Kau harus belajar dari sekarang, gadis bodoh!"
"Aku tidak mau, pria menyebalkan!"
Terdengar sahutan mereka yang tumpang tidih. Mereka berdua terus mengoperkan piring itu kesana kemari sampai pada akhirnya.
PRANK
Piring itu jatuh dan pecah. Mereka berdua memandang ke bawah. Ke arah pecahan piring yang berserakan. Hening sesaat. Kemudian mereka bertatapan.
"Cepat bersihkan." Henry memulai.
"Kenapa aku? Kenapa tidak kau saja yang membereskannya?"
"Tugasku hanya mengawasimu. Bukan membereskan kekacauan yang kau buat," ucapnya santai.
"Tapi ini semua juga terjadi karenamu! Kau juga harus bertanggung jawab," pekik Natsumi tak terima.
"Tidak. Kau saja yang bersihkan," ucap Henry sambil menunjuk ke arah pecahan piring.
Natsumi menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia lelah dengan perdebatan yang tidak masuk akal ini.
"Baiklah, ayo kita suit. Siapa yang kalah dia yang bersihkan, bagaimana?" tawar Natsumi.
"Oke. Lagipula aku sudah lelah berdebat terus denganmu," jawab Henry setelah bepikir sejenak.
Mereka berdua akhirnya melakukan suit batu, gunting, kertas dan hasilnya sukses membuat Natsumi tertawa kegirangan.
"Hahahahaha! Henry kalah?! Seorang bodyguard terbaik kalah suit! Hahahahaha!" teriaknya sambil berjingkrak-jingkrak senang seperti anak lecil.
"Daripada hanya tertawa-tawa tidak jelas seperti itu. Bisakah kau membantuku mengambil keranjang di atas lemari itu?" sela Henry sambil menunjuk lemari di hadapannya, di belakang Natsumi. Ia membutuhkan sesuatu untuk tempat mengumpulkan pecahan piring.
"Kenapa tidak kau saja yang ambil?" tanya Natsumi setelah menghentikan 'tawanya' barusan.
"Kau tidak lihat aku sedang membereskan pecahan ini?"
Natsumi mendengus kesal. Dengan sangat terpaksa ia berjalan menuju lemari piring di belakangnya. Ia membuka masing-masing laci yang ada sampai ia menemukan keranjang yang diminta Henry di laci paling atas. Laci itu cukup tinggi dan membuat gadis itu melompat-lompat untuk menggapainya. Tapi tetap tidak sampai. Akhirnya ia memutuskan memanjat lemari itu. Dengan tubuhnya yang kecil mungkin tidak akan apa-apa, pikirnya. Ia berusaha untuk memegang ujung celah lemari dan menaikan kakinya ke atas laci lemari yang ada di bawahnya. Natsumi mengulurkan tangannya menggapai keranjang berwarna hijau itu. Hampir sampai. Sedikit lagi. Ia berusaha berjinjit lalu mengulurkan tangannya lebih tinggi lagi dan……

GUBRAKS

****
Henry baru saja akan mengumpulkan kepingan piring itu lagi saat tiba-tiba terdengar ponselnya berbunyi nyaring. Henry mengeluarkan ponsel itu dari dalam saku celananya. Matanya menyipit saat menatap nama yang tertera di layar. Sebelum ia mengangkat sambungan itu, ia sekilas melirik ke arah Natsumi yang sepertinya sedang berusaha memanjat lemari itu.
"Ya, Marcus. Ada apa?"
.....
"Apa?! Kau jangan bercanda!"
.....
"Tidak."
.....
"Baiklah. Akan aku sampaikan."
Tak lama setelah Henry menutup sambungan tersebut. Terdengar suara keras di hadapannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah lemari itu. Terlihat Natsumi sudah tergeletak di lantai sambil memegangi kakinya. Gadis itu terjatuh lagi. Henry mendecakkan lidah sebelum akhirnya berlari menghampiri Natsumi.
Flash Back Of
****
Henry berjalan pelan menuruni anak tangga itu tanpa berpegangan. Pandangannya memperhatikan setiap langkah yang ia pijakan. Ia juga mengawasi setiap tamu yang datang. Terlihat orang-orang yang sedang berdiri di samping meja bundar sambil bercerita dengan temannya masing-masing. Ada yang duduk sambil menikmati makanan, adapula yang memainkan alat music di tengah ruangan luas itu. Menambah hidup suasana.
Semua tamu sontak menoleh ke arah Henry dan Natsumi saat seseorang yang tidak sengaja melihat mereka sedikit bersorak.
“Sudah kukatakan jangan bergerak. Kau tak lihat mereka sedang memperhatikan kita?” desis Henry tepat di telinga Natsumi.
Natsumi tanpa sengaja melirik ke arah bawah. Ia segera mencengkramkan tangannya kuat-kuat ke tubuh Henry. Ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Henry.
“Aku baru tahu tangga ini tinggi sekali,” ucap Natsumi. “Apa mereka semua memperhatikanku? Oh, ini memalukan,” lanjutnya dengan suara parau.
Henry terkekeh pelan melihat tingkah Natsumi. Sedetik kemudian ia mendengar sorakan tepuk tangan yang meriah dari para tamu undangan, melihat pengantin wanita yang sedang di gendong oleh sang pria menuruni tangga.
“Wah…romantisnya.”
“Benar-benar pasangan serasi.”
“Mereka sangat mirip. Katanya kalau mirip itu artinya jodoh, mereka pasti berjodoh.”
“Aku iri melihatnya.”
Terdengar sahutan yang tumpang tindi dari para tamu diantara riuh tepuk tangan itu.
Henry menarik sudut bibirnya ke atas, mengukir senyum memabukkan di wajahnya yang teramat tampan. Sedangkan Natsumi masih betah dengan posisinya. Menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang Henry saking malunya.
“Silahkan lanjutkan acaranya. Saya ada urusan sebentar,” katanya saat tiba di anak tangga paling akhir pada salah satu tamu undangan.
Henry berjalan ke arah pintu samping rumah mewah itu. Rumah mewah yang dikelilingi oleh pintu kaca besar di setiap sisi. Ia berjalan lurus menuju pintu keluar. Langkahnya berhenti seketika saat dilihatnya sebuah mobil Mercedes hitam berhenti di luar sana, disusul dengan tiga mobil lain di belakangnya.
Henry menyipitkan matanya dan memperhatikan beberapa orang yang keluar dari dalam mobil. Di antara beberapa orang tersebut terlihat Marcus dan Robert turun paling belakangan dan tepat pada saat itu Henry segera melanjutkan langkahnya, berbelok ke samping  melewati sebuah ruangan makan yang luas menuju pintu dapur.
Henry semakin melangkah cepat saat sebuah mobil berhenti tepat di halaman belakang rumah itu. seorang pria tinggi keluar dari dalam kemudi dan membukakan pintu untuk Henry dan Natsumi.
Natsumi yang baru saja sadar dari persembunyiannya terlihat terkejut. Pandangannya mengedar ke luar mobil yang mulai berjalan meninggalkan rumah mewahnya.
“Mau kemana kita?” tanya Natsumi dengan kening berkerut.
Henry menoleh menatap gadis yang sedang duduk di sampingnya. “Tidak kemana-mana. Hanya pergi sebentar,” sahutnya tanpa ekspresi. Ia lalu menyerahkan selembar kertas pada supir yang kepalanya tertutup topi itu.
“Kita pergi ke sini,” katanya sambil menunjuk kertas itu.
“Apa kita akan ke bandara? Menjemput Daddy?” sela Natsumi cepat dengan tatapan penuh harap.
Masih dengan tanpa ekspresi Henry menjawab. "Tidak." hanya satu kata itu yang terlontar dari mulutnya.
"Kenapa tidak? Bukankah semalam kau bilang padaku kalau Dady akan pulang siang ini?" seru Natsumi lagi. Ia sebenarnya heran dengan yang dilakukan Henry. Seperti ada yang aneh dengan pria ini. Tapi pikiran buruk itu segera ia tepis jauh-jauh.
Kali ini Henry menoleh. Menatap mata Natsumi tajam.
"Tuan Robert baru saja sampai di rumah. Jadi kita tidak perlu menjemputnya."
"Kalau begitu kenapa kita keluar? Memangnya kita mau kemana? Kenapa kau tiba-tiba membawaku leluar dari rumah, Henry?" tanya Natsumi penasaran.
Karena Henry tak menggubrisnya, ia pun mulai berteriak. "Hei! Kenapa kau hanya diam saja? Jawab aku, Henry Lau?!"
"Bisakah kau menjaga mulutmu itu gadis manja!!" Seruan dari balik kemudi menghentakkan batinnya.
Benar, memang ada yang tidak beres. Sepertinya ia mengenal suara itu.
Natsumi kemudian melayangkan tangannya menggapai kepala sopir itu dan melepas topinya. Matanya terbelalak melihat mata yang menatap tajam ke arahnya yang menoleh ke belakang itu.
"Zh...Zhou Mi?!"

****

Posting Komentar Blogger Disqus

 
Top