Chapter 9
3 Tahun Kemudian
Natsumi
berdiri di depan jendela kamarnya yang terbuka lebar yang menampilkan
gedung-gedung pencakar langit. Kerlap-kerlip lampu menerangi di antara gedung
besar itu. Wajahnya menengadah ke atas. Langit gelap. Ia memejamkan kedua
matanya membiarkan udara dingin yang mulai terasa menusuk kulitnya. Ia
membiarkan hembusan angin musim dingin menerpa wajahnya dan mengayunkan
rambutnya dengan
bebas. Ia tersenyum tipis. Rasanya sangat dingin. Tapi ia menyukai kedinginan
itu. Ia benar-benar merindukan musim dingin disini. Perlahan ia membuka
matanya. Salju mulai turun, menutupi sebagian besar kota Tokyo. Salju
mengingatkannya pada peristiwa tiga tahun yang lalu. Peristiwa yang sukses
menggerogoti hati dan pikirannya.
"Kau
sudah pulang? Kenapa tidak meneleponku?"
Sebuah
suara berat membuyarkan lamunan Natsumi. Gadis itu menoleh, tapi tak berniat
untuk membalikkan badan. Hanya memastikan kalau memang ada yang memanggilnya.
Ia sudah sangat familiar dengan suara itu.
"Ya.
Aku hanya tidak mau merepotkanmu, Marcus," ucap Natsumi tanpa berbalik. Ia
melayangkan kembali pandangannya ke arah luar jendela. Walaupun tidak melihat
pria itu, ia tahu Marcus sedang berjalan ke arahnya.
"Hei!
Seharusnya kau memanggilku kakak. Aku lebih tua darimu, Natsumi," protes
Marcus.
Natsumi
memutar bola matanya. Ya, Marcus adalah kakaknya, anak pertama dari istri
pertama Robert. Usia mereka hanya berselisih 4 tahun.
"Aku
tahu, tapi aku lebih suka memanggil namamu seperti dulu," jawab Natsumi
sambil melirik pria
yang kini berada di sampingnya.
Tiga
tahun yang lalu setelah kejadian itu, Natsumi memutuskan untuk melanjutkan
Pendidikan di luar negeri. Ia ingin menyegarkan otaknya yang kacau. Sekaligus
mengisi kegiatan lain yang bermanfaat untuk masa depannya kelak. Karena ia jago
bela diri dan bisa dengan mudah berinteraksi dengan siapapun ia mendapat ijin
dari Marcus untuk ke Amerika. Biar bagaimanapun, Marcus adalah kakaknya,
dan ia harus meminta ijin terlebih dahulu pada Marcus sebagai pengganti walinya.
Marcus
sendiri memilih untuk tinggal dan menetap di Jepang. Ia harus menyelesaikan
segala kekacauan yang terjadi akibat kejadian waktu itu. Sejak Robert
meninggal, ialah yang bertanggung jawab atas semua kegiatan anak buah dan
kekayaan yang di tinggalkan pria itu. Marcus memutuskan untuk menghentikan
aktifitasnya sebagai gangster. Ia membubarkan kelompok tersebut dan menyuruh
masing-masing anggotanya untuk hidup normal dan tidak melakukan pelanggaran
hukum. Kalau itu sampai terjadi, maka ia akan menyerahkan anak buahnya itu pada
polisi. Dengan ancaman itu, para anak buah yang setia pada Robert akhirnya
menurut dan berjanji untuk hidup normal dan tidak membuat kerusuhan.
Marcus
membagikan sebagian harta Robert untuk kehidupan anak buahnya itu dan sebagian
lagi ia sumbangkan. Lalu dengan modal yang ia punya, ia membangun sebuah agensi
yang bergerak dalam bidang pengamanan (bodyguard)
dan sekolah bela diri. Ia memutuskan untuk menjual rumah mewah Robert dan
membeli apartement di tengah kota Tokyo.
"Kapan
kau sampai?" tanya Marcus membuyarkan lamunan Natsumi.
Natsumi
menoleh. "Kemarin."
"Kemarin?"
"Mhm,
kemarin sore. Aku berangkat dari New York dengan penerbangan pagi, jadi aku
baru sampai kemarin sore. Kenapa?"
"Tidak
apa-apa, hanya saja..." ucap Marcus ragu. Belum sempat ia melanjutkan
Natsumi langsung memotong.
"Hanya
saja kau terlalu sibuk dengan bisnis barumu itu, jadi kau tidak tahu kalau aku sudah pulang. Untung
saja sewaktu aku meneleponmu dari New York waktu itu kau sempat memberitahuku
pasword apartementmu. Kalau tidak, aku pasti kebingungan akan tidur
dimana," jelas Natsumi panjang lebar.
Gadis
itu kemudian tertawa renyah dan Marcus hanya menanggapinya dengan tersenyum.
Sebenarnya bukan itu yang ingin ia katakan tadi, tapi yasudahlah. Ada banyak
hal yang ingin ia ceritakan pada gadis ini. Mungkin kalau ia menceritakannya
gadis ini tidak akan percaya. Bahkan Marcus sendiri saja sulit untuk
mempercayainya. Tapi begitulah hidup, penuh dengan misteri dan teka-teki. Dan
terkadang apa yang kita ketahui belum tentu sesuai dengan kenyataan yang ada.
"Bagaimana
dengan kehidupanmu di New York? Menyenangkan? Kau pasti punya banyak teman baru.
Apa mereka suka menjahilimu? Tapi sepertinya tidak mungkin mengingat kau begitu
pandai berkelahi. Bagaimana dengan dosen disana, apakah lebih cerewet dari
gurumu sewaktu SMA dulu?" tanya Marcus panjang lebar.
"Pertanyaanmu
banyak sekali Marcus. Mana dulu yang harus aku jawab?" sahut Natsumi
sambil menggaruk
kepalanya yang tidak gatal.
Pria
ini masih sama seperti dulu. Perhatian, cerewet, dan sangat baik padanya. Tentu
saja karena Marcus adalah kakaknya dan Natsumi bersyukur akan hal itu. Ternyata
disaat ia merasa segalanya telah pergi menjauh darinya, masih ada harapan lain
yang mendekat, menjaganya, dan menemaninya. Di kala ia ingin berkeluh kesah. Di
kala ia ingin menuangkan segala gundah dalam hatinya. Dan di kala ia ingin membagi
kebahagiaan yang ia rasakan. Hanya Marcuslah yang selalu ada untuknya.
Marcus
terkekeh pelan. Kedua sudut bibir tipis pria itu terangkat ke atas. Mengukir
sebuah tawa kecil. Menampilkan deretan giginya yang rapi. Matanya yang bulat
tampak mengecil, membuat mata itu semakin tajam. Hidungnya yang mancung serta
alisnya yang tegas membuat wajahnya semakin menarik untuk di pandang. Kulit
putihnya semakin terang di bawah naungan lampu kamar. Wajahnya sebagian
tertutup bayang-bayang langit malam, membuat garis wajahnya semakin tegas.
Marcus sangat tampan', ucap Natsumi dalam hati. Tiba-tiba saja ia terkekeh
mengingat dulu ia pernah tertarik dengan pria ini. Marcus sangat baik padanya
dan ia juga sangat tampan. Bayangkan saja, gadis mana yang tidak akan terpikat
olehnya?
"Tidak
usah dijawab sekarang. Kau bisa menceritakan padaku besok." Kemudian pria
itu berpikir sejenak. "Atau kapanpun kau mau. Aku tidak akan memaksamu
memberitahuku," lanjutnya lagi.
"Intinya,
semuanya baik-baik saja. Aku pasti akan menceritakannya padamu, Marcus,"
jelas Natsumi.
"Baiklah. Kalau begitu sebaiknya kau istirahat
sekarang," ucap Marcus setelah sebelumnya melirik jam dinding. "Besok
kita akan pergi pagi-pagi sekali," sambungnya.
Natsumi
melayangkan juga pandangannya ke arah jam dinging. "jam 11 malam,"
gumamnya dalam hati lalu mengangguk.
Marcus
kemudian menutup jendela kamar itu dan menguncinya. Sebelum ia pergi, ia
melayangkan tangannya ke kepala Natsumi, mengelusnya lembut sambil bergumam.
"Tidurlah
yang nyenyak. Good night, Natsumi."
"Good night, Marcus."
****
Marcus
menunduk. Meletakkan sebuket bunga lily di atas gundukan tanah di samping
sebuket bunga lily lain yang sudah ada disana. Mungkin sudah ada orang lain
yang berkunjung. Kemudian mereka memberi hormat beberapa kali pada makam itu.
Rest
In Peace
Beloved Hushband, Father, Brother, Friend.
January 1960 - December 2010
Beloved Hushband, Father, Brother, Friend.
January 1960 - December 2010
Natsumi
mengikuti Marcus. Memejamkan mata untuk berdoa. Ia kemudian menaruh sebuket
bunga lily lagi di atas makam itu.
Hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian Robert.
Hari ini adalah tiga tahun peringatan kematian Robert.
Setiap
tahun Natsumi dan Marcus selalu menyempatkan diri mengunjungi makam ini. Makam
ayah mereka. Melihat nama itu lagi, membuat mata Natsumi semakin menghangat. Ia
sangat kehilangan sosok ayah yang sangat ia sayang dan menyayanginya. Namun ia
sudah semakin dewasa sekarang. Ia harus menjadi gadis yang tegar dan kuat, ia
tidak boleh lemah. Natsumi segera menghapus air mata yang mengalir di pipi
mulusnya dengan sebelah tangan.
"Kau
tidak apa-apa?" tanya Marcus tiba-tiba.
Natsumi
menoleh dan dengan cepat menggeleng.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," sahutnya
dengan suara sedikit serak.
"Tunggulah
disini. Aku akan segera kembali,” ucap Marcus.
Natsumi
hanya mengangguk sambil tersenyum tanpa menanyakan apa yang akan pria itu
lakukan. Ia berpikir mungkin Marcus akan kembali ke mobil mengambil sesuatu
yang tertinggal, atau mungkin mengambilkan sebotol minuman untuk dirinya. Yah.
Hanya itu kemungkinan yang bisa ia ambil.
Tak
lama setelah Marcus pergi Natsumi hanya termenung disitu. Sebenarnya ada
seseorang lagi yang
sangat ia rindukan. Seseorang yang selalu menghiasi mimpi dan kenangannya.
Entah karena alasan apa, ia selalu mengingatnya dalam hati dan menguncinya
rapat-rapat. Seolah tak ingin kalau sosok itu akan pergi jauh darinya.
Natsumi
mengangkat sebelah tangannya ke udara. Memperlihatkan jari-jari jenjangnya. Ia
melihat benda yang melingkar di jari manisnya dengan seksama. Cincin dengan
tiga permata shapireblue di
tengahnya. Natsumi tersenyum kecil. Ia berharap kenyataan yang menyesakkan
waktu itu hanyalah omong kosong. Ia berharap pria itu bukan saudara kembarnya.
Ia benar-benar berharap akan hal itu. Karena sampai sekarang pun, perasaan yang
ia rasakan waktu itu masih tetap sama dan semakin kuat. Ia benar-benar
merindukan sosok itu sekarang. Di sini. Bersamanya.
"Natsumi."
Sebuah
suara menyentakkan lamunannya. Tidak, itu bukan suara Marcus, tapi ia tahu
jelas siapa pemilik suara ini. Natsumi membalikkan tubuhnya dengan hati-hati. Matanya
membulat seketika. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Apakah
Tuhan baru saja mengabulkan do'anya? Sosok yang ia rindukan saat ini berada
tepat di hadapannya memandangnya dengan tatapan teduh.
"Henry..."
gumam Natsumi tanpa sadar. Mendadak hati Natsumi terasa nyeri. Nyeri karena merindukannya. Nyeri karena pria itu akhirnya berada di hadapannya dan
memanggil namanya.
Henry
Lau yang nama aslinya adalah Nakamoto Henry waktu itu dikabarkan sebagai
saudara kembar Natsumi yang di culik oleh Ziang, rival almarhum ayahnya dan di
hasut untuk membunuh Robert memutuskan untuk pergi meninggalkan Tokyo. Natsumi
sendiri tidak mengetahui dengan pasti alasan pria itu tiba-tiba menghilang
begitu saja. Dan suatu hari ia mendengar kabar dari Marcus bahwa Henry pergi ke
Amerika membuatnya mengambil keputusan nekat. Malam itu ia memesan tiket dan
berangkat dengan penerbangan malam berharap bisa menyusul Henry. Ia tidak tahu
kenapa ia melakukan itu. Yang iya tahu hanya satu, ia tidak ingin pria itu jauh dari
jangkauannya. Ia tidak ingin pria itu pergi. Namun usahanya malam itu sia-sia.
Ia tidak menemukan Henry sama sekali. Rasa hampa dan kekosongan dalam hatinya
menyeruak kembali. Sesak.
Dan
sekarang, pria itu ada di hadapannya. Apakah ia masih bisa berharap? Apakah
Tuhan akan mengabulkan keinginannya lagi jika ia berharap 'Henry bukanlah
saudara kembarnya'? bolehkan ia memohon kepada Tuhan untuk membelokkan
kenyataan itu? Bagaimanapun juga ia sangat berharap itu semua adalah
kebohongan, sekalipun itu tak mungkin. Karena perasaan yang ia rasakan sekarang
bukanlah kebohongan. Ia mencintai pria ini.
*****
Henry
terdiam menatap wajah itu. Wajah yang selama ini ia rindukan. Ada sebersit
kebahagiaan yang menguap di hatinya. Inilah yang ia tunggu-tunggu semenjak 2
tahun yang lalu. Saat ia kembali lagi ke Jepang dan Marcus memberitahukan kabar
yang membuat harapannya muncul kembali.Waktu itu Marcus ingin membagi harta
warisan pada Henry, tapi untuk itu perlu melewati proses hukum. Pihak kuasa
meminta bukti bahwa ia adalah anak kandung Robert. Sekalipun Henry menolaknya, tapi Marcus terus memaksanya
memberikan setengah warisan Robert pada orang yang ia anggap adik tirinya itu.
Akhirnya
Henry menyetujui melakukan tes DNA. Hasil tes DNA itu benar-benar membuat Henry
dan Marcus terkejut. Henry memang memiliki mata yang sama dengan Natsumi dan Robert.
Ia juga memiliki kulit putih dan sifat yang sama dengan Natsumi. Dan yang sudah
pasti lagi, ia memang
benar anak laki-laki Robert yang di culik 12 tahun lalu. Tapi yang membuat
mereka tercekat adalah Henry bukanlah anak kandung Robert! Suatu hal yang membuat
harapan dalam hati Henry bersinar kembali. Karena penasaran akhirnya Marcus dan
Henry mencari tahu apa yang terjadi.
Henry dan Robert mendatangi rumah sakit yang
dijadikan tempat ibunya dulu melahirkan dan mendapatkan informasi bahwa Henry
adalah seorang anak yang diadopsi oleh ibu Natsumi yang saat itu menginginkan
anak kembar. Ibu Natsumi melihat Henry yang masih kecil mirip sekali dengan
Natsumi yang memilki mata biru yang sama peris dan kulit putih susu yang
bersih. Henry adalah seorang anak yatim piatu yang baru saja dilahirkan di
rumah sakit yang sama satu hari sebelumnya. Tak ada pihak keluarga yang datang
untuk mengambil bayi itu. Bayi itu -Henry- terus saja menangis sampai ibu
Natsumi datang dan menggendongnya, seketika itu bayi itu diam.Walaupun bayi itu
seorang laki-laki, ibu Natsumi tetap mengadopsinya dan hal tersebut sama sekali
tidak diketahui oleh ayah Natsumi yang saat itu sedang berada di Thailand.
Henry
menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Mengukir sebuah senyuman yang teramat menawan
di wajahnya yang tampan. Ia harus berusaha menahan diri sekuat tenaga untuk
tidak berlari dan memeluk gadis itu. Tidak. Jangan sekarang. Dia sama sekali
belum tahu, pikir Henry dalam hati. Tapi dari tatapan gadis itu, Henry bisa
tahu bahwa gadis itu juga sangat merindukannya.
*****
Posting Komentar Blogger Facebook Disqus