Chapter 5
Ruangan itu sepi dan gelap. Udara dingin perlahan masuk melalui celah jendela yang tak tertutup rapat. Jam dinding telah menunjukkan pukul 10 malam. Henry membuka pintu dengan sebelah kakinya. Ia berjalan masuk tanpa menyalakan lampu terlebih dahulu. Langkahnya mendekati kasur empuk berwarna ungu. Ia menjatuhkan tubuh gadis itu di atas kasur dengan hati-hati. Takut kalau gadis itu akan terbangun.
Kini ruangan itu tidak sepenuhnya gelap. Ada cahaya remang-remang yang menerangi dari luar pintu. Henry merenggangkan otot-ototnya yang kaku sambil duduk di tepi ranjang. Ia hendak berjalan menghidupkan nyala lampu saat tiba-tiba ponselnya berbunyi nyaring. Ia segera merogoh saku celananya dan memencet tombol hijau denga terburu-buru.
“Halo?” desis Henry dari balik telepon.
“Henry, ada apa dengan suaramu?” sahut suara di ujung sana. Suara seorang pria yang tak asing lagi di telinganya.
Henry menjauhkan ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.
“Ya, Zhou Mi. Ada apa?” Henry balik bertanya.
“Ada sebuah informasi penting yang harus kau ketahui. Ketua memintaku menyampaikannya padamu. Kau ada di mana sekarang?”
“Di kamar,” sahut Henry asal.
“Di kamar?” tanya Zhou Mi dengan nada heran.
“Ya. Sudah katakan saja langsung. Ada apa?” balas Henry malas.
“Kau di mananya? Apa bersembunyi di dalam lemari?” terdengar gesekan pintu tipis di balik telepon.
“Apa?” tanya Henry dengan kening berkerut.
“Tak ada siapa pun di sini,” ucap suara di seberang sana dengan nada yakin.
“Hei!!” Henry hampir memekik tajam saat mulai menyadari ucapan Zhou Mi barusan. “Kuperingatkan kau. Jangan sentuh apapun!”
“Ok, baiklah. Ups.” Terdengar beberapa benda terjatuh. “Maaf aku tak sengaja menyenggol meja kecilmu, beberapa buku terjatuh, ah, bukan. Tepatnya document. Tapi tenang saja, aku akan mengembalikannya ke tempatnya semula. Ok, semuanya baik-baik saja sekarang. Kamarmu ini besar tapi terlalu sempit untuk barang-barangmu yang banyak ini. Aku kesulitan untuk bergerak dan... Ok, lupakan,” sela Zhou Mi saat menyadari dirinya sudah terlalu banyak membicarakan hal yang tak penting. Kemudian ia melanjutkan. “Jadi, ada di mana kau sekarang?”
“Kediaman Robert,” ucap Henry ragu.
“Jadi kau sedang berada di kamar gadis itu?” tanya Zhou Mi dengan suara memekik.
Baiklah, setelah ini temannya itu pasti akan menanyakan macam-macam tentang hubungannya dengan gadis itu, tapi Henry tidak membiarkan hal itu terjadi. Sebelum Zhou Mi membuka mulutnya lagi Henry segera menyela.
“Aku akan pulang sekarang.” Henry langsung menutup sambungan telepon itu secara sepihak.
Bagaimana Zhou Mi bisa masuk ke sana? Seingatku, aku tak pernah memberikan kunci atau pun parword apartementku pada siapapun, gumam Henry dalam hati.
Ia kemudian bangkit dari duduknya dan berlari menuruni anak tangga dengan tergesah setelah sebelumnya menutup rapat pintu kamar Natsumi secara perlahan.
*****
“Jadi Marcus dan Robert adalah….”
“Yah, aku juga baru mengetahuinya,” sela Zhou Mi sambil melirik Henry yang berdiri kaku menatap berkas di tangannya.
Saat ini mereka sedang berada di apartement Henry. Tepatnya di kamarnya. Henry berdiri menyandar di samping jendela kamar yang terbuka. Ia menatap Zhou Mi yang berdiri tepat di hadapannya.
Zhou Mi datang satengah jam yang lalu dengan membawa sebuah map yang berisi berkas hasil pemeriksaan dan document rahasia.
“Lalu, apa marcus tahu tentang hal ini?” tanya Henry dengan tatapan mengintimidasi.
Zhou Mi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Merasa dingin dengan udara di luar sana kemudian menjawab.
“Entahlah, aku juga tidak yakin. Tapi mungkin saja dia tahu,” sahut Zhou Mi sambil mengangkat bahu.
“Mungkin?” ucap Henry balik bertanya. “Dia adalah seorang tangan kanan Robert yang di percaya untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas Robert. Bahkan dalam setiap masalah yang timbul, Robert selalu mempercayakan Marcus atas semua keputusan yang pria itu ambil. Aku yakin, dia pasti tahu tentang ini. Dan itulah sebabnya Robert sangat percaya pada Marcus,” selidik Henry panjang lebar.
Zhou Mi mengalihkan pandangan keluar jendela. Ia menyipitkan mata.
"Tapi sayangnya ia menutupi ini semua dari putri kesayangannya," kemudian menatap Henry dengan pandangan mengejek. "Kau pikir apa yang akan putrinya lakukan jika ia mengetahui semua ini?" lanjutnya sambil tersenyum kecil.
Henry membalas tatapan Zhou Mi. Ia tidak mengeluarkan ekspresi apapun. Tatapannya datar. Hanya saja pikirannya kembali melayang ke sosok gadis yang tengah ia tinggalkan tertidur di kamar tadi, Natsumi. Entah sejak kapan. Segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu menjadi sangat penting untuknya. Termasuk kebahagiaannya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi gadis itu atas semua ini. Dan ia tidak ingin membayangkannya sama sekali. Ia tidak berani. Ia takut gadis itu akan bersedih seperti tadi. Ia takut gadis itu tidak bahagia. Ia takut gadis itu akan kecewa dan marah.
"Ada satu berita lagi. Tapi ku kira kau pasti sudah tahu," ucap Zhou Mi yang membuyarkan lamunan Henry. "Kepala mata-mata di Thailand telah ditangkap, dan tak lama setelah itu seluruh mata-mata yang berkhianat telah di evakuasi olehnya. Tentu saja mereka semua sudah di 'bersihkan'. Aku yang menjadi saksi mata. Dia benar-benar ketua gangster pembunuh berdarah dingin. Pantas saja banyak yang menaruh dendam padanya dan mengincar kematian putrinya," jelas Zhou Mi panjang lebar.
Pria itu terus saja bicara tentang semua isi berkas di tangan Henry. Henry membalik halaman demi halaman berkas itu, membacanya dengan seksama, dan matanya terhenti pada sebuah artikel kusam yang sudah lama yang di cantumkan bersama dengan berkas itu. Matanya menyipit membaca judul besar berita itu.
“Kasus Penculikan, Seorang Anak Hilang Dan Seorang Ibu Tewas Tertembak”
Di bawahnya disertakan foto dua orang anak kecil berumur sekitar 1 tahun, mengenakan kaos merah Mickey Mouse dan tersenyum lebar ke arah kamera. Kedua anak itu sama-sama memakai topi rajut senada, dengan rajutan 3 bintang di tengahnya.
"Apa ini?" tanya Henry sambil menyodorkan artikel itu.
"Oh, itu artikel tentang kematian istri keduanya."
"Maksudmu, ibu Natsumi?" selidik Henry. Pria itu mulai tak mengerti dengan arah pembicaraan ini. Apa sebenarnya yang ingin Zhou Mi tunjukkan padanya?
"Ku kira kau sudah tahu sebelumnya, karena berita ini ada hubungannya dengan kematian kedua orang tuamu," sahut Zhou Mi.
Tidak. Henry sama sekali tidak mengerti. Ia tahu kalau orang tuanya mati di tangan Robert. Ia tahu jelas akan hal itu. Orang tuanya awalnya sama seperti dirinya, seorang pengawal. Bahkan bisa dikatakan pengawal setia keluarga Robert. Karena dulunya orang tua Henry adalah orang susah yang hidup di jalanan dan kemudian bertemu dengan Robert dan menawari mereka pekerjaan sebagai bodyguard keluarga. Orang tua Henry merasa memiliki hutang budi yang sangat besar pada Robert dan istrinya. Tapi karena kelalaian melindungi istri ketua gangster itu dari aksi penyerbuan penculikan 16 tahun yang lalu. Kedua orang tua Henry dibunuh begitu saja.
Ibu Natsumi tewas terkena luka tembak, sedangkan ibu Henry sekarat terkena luka tusukan pisau. Untuk menembus rasa bersalahnya pada orang tua Natsumi, ayah Henry bersedia di kenai hukuman mati. Bersamaan dengan itu Ibu Henry pun memiliki pendapat yang sama dengan suaminya.
Dikarenakan depresi berat dan emosi yang tak terkendali akibat kehilangan seorang istri dan anak kesayangannya. Robert pun memutuskan untuk melaksanakan hukuman itu.
“Jadi Natsumi punya saudara kembar, begitu?” tanya Henry di akhir penjelasan Zhou Mi.
"Ya, dan apa kau tahu kalau saudara kembarnya itu adalah seorang laki-laki," sahut Zhou Mi sambil mencondongkan tubuhnya pada Henry.
"Lalu, ada dimana dia sekarang?" tanya Henry sambil memperhatikan foto yang tercantum di artikel itu.
Zhou Mi melirik ke arah Henry dan tersenyum licik. Ia mendengus mendengar pertanyaan itu.
"Untuk apa di pikirkan. Mungkin saja dia sudah mati. Itu tak penting sekarang," katanya sambil tetap menatap Henry tajam. "Yang paling penting sekarang adalah melaksanakan misi balas dendam kita," bisik Zhou Mi tepat di telinga Henry.
Henry tersenyum miring. Ia berjalan mendekati meja kecil di samping tempat tidurnya dan meletakkan berkas itu di dalam laci. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang empuk berwarna putih. Tangan kanannya memijit-mijit pelipisnya. Kepalanya terasa pusing.
"Sudah malam. Aku butuh istirahat," desis Henry dengan nada sedikit mengusir.
"Oke, calon Tuan muda," sahut Zhou Mi dengan nada bergurau. "Kurasa aku sudah menyampaikan semua yang ketua perintahkan padaku. Sekarang aku akan pergi. Selamat malam."
Henry menghempaskan tubuhnya begitu saja di atas ranjang dan menghembuskan napas panjang sesaat setelah Zhou Mi keluar dari kamarnya. Natsumi. Apa yang akan gadis itu lakukan jika mengetahui semua ini? Dan kenapa pula Henry mesti peduli? Ia harusnya tidak salah langkah. Ia harusnya tidak terjebak dalam perasaanya sendiri.
Henry mengacak rambutnya frustasi. Gadis itu memang berhak membencinya. Entah ia akan dimaafkan atau tidak, tapi ia harus tetap melaksanakan misinya. Masalahnya sekarang adalah apakah ia masih sanggup melakukan itu semua? Ketika kebahagiaan gadis itu kini menjadi kebahagiaannya juga. Ketika hatinya sudah terseret semakin dalam ke dalam jurang yang bisa membunuh dirinya sendiri. Menumbuhkan harapan baru dan meruntuhkan keyakinannya selama ini? Membuatnya tersesat dalam labirin yang tak berujung. Dan melawan kenyataan yang ia benci menjadi sebuah harapan kosong menyesakkan?

****
Ruangan luas tak terpakai itu sangat berisik. Terdengar suara gaduh dimana-mana. Hentakan kaki terdengar keras mengisi seluruh penjuru ruangan. Jeritan melengking terbendung seketika saat dentuman senapan terdengar dengan luar biasa kerasnya. Memecah gendang telinga sang empunya.
Orang-orang itu bergerak mundur. Jass hitam yang di kenakanya ternoda oleh warna merah darah. Salah satu di antara mereka jatuh tergeletak begitu saja di atas lantai keramik. Semua mata tertuju padanya. Tubuh itu menggeletar sesaat setelah mulutnya memuntahkan darah segar. Dan beberapa detik kemudian matanya tertutup rapat. Tubuh itu tak bergerak lagi. Nyawanya telah terbang melayang meninggalkan jasatnya
"Kau telah mengibarkan bendera perang dengan begitu jelas. Percuma saja berdiskusi dengan orang macam kau. Baiklah kalau ini maumu, Ziang. Aku akan meladenimu dengan senang hati," kata salah satu ketua dari dua kelompok yang tengah bertengkar itu. "Marcus, bisakah kau membantuku membereskan ini semua?" ucapnya lagi pada seorang pria tinggi di sampingnya.
"Tentu Tuan," sahut pria tinggi itu dingin.
Ia lantas memberi perintah pada beberapa anak buahnya untuk maju dan menghajar kelompok yang tengah menenteng golok tersebut. Perkelahian sengit tak bisa di hindari. Banyak anak buah mereka yang terkena bacokan golok. Namun tak sedikit pula yang kehilangan nyawa karena terkena tembakan. Keributan itu berlangsung selama kurang lebih satu jam. Hingga pada akhirnya menyisahkan orang-orang yang bergerak di balik layar.
Robert mengangkat dagunya tinggi-tinggi menatap lurus ke arah seorang pria Thailand yang sedang memegang puntung rokok dengan pandangan meremehkan.
"Anak buahmu lumayan juga, huh? Kau benar-benar melatih mereka untuk bertarung," sungut Robert sambil berdiri dari singgahsananya yang ia duduki 2 jam yang lalu. "Awalnya aku ingin berdiskusi denganmu. Mengajakmu kerja sama. Siapa tahu kita bisa menguasai daratan Thailand ini bersama. Bukankah itu terdengar sangat menarik, huh?" lanjut Robert. Pria paruh baya itu kemudian mengedarkan pandangannya pada beberapa orang yang berdiri di hadapannya.
"Lihat, anak buahmu hanya bersisa sedikit. Sudah jelas kau tidak akan menang melawanku, Ziang! Menyerah sajalah!"
Pria paruh baya bernama Ziang tersebut tersenyum. Sama sekali tak ada raut ketakutan di wajahnya. Yah, kalau dibandingkan, sekarang jumlah anak buah Robert masih lebih banyak dari pada anak buahnya sendiri. Anak buah Robert yang lebih banyak menggunakan pistol dan anak buahnya menggunakan golok. Jelas, kalah telak pastinya. Namun tak terpancar sedikitpun raut wajah ketakutan di wajahnya yang mulai terlihat tua itu. Ziang membuang ludah. kemudian tersenyum mendengus.
"Kau pikir aku akan menyerah begitu saja? Robert- Rival lamaku- aku yakin kau tahu benar watakku," Kemudian pria itu pun berdiri dari duduknya dan memiringkan kepala menatap Robert. "Aku tidak sudi bekerja sama denganmu. Aku lebih suka merebut segala hal yang kau miliki. Itu terasa lebih menyenangkan!" lanjutnya dengan senyum mengembang.
Ia berjalan mendekati Robert yang jaraknya 3 meter di hadapannya, kemudian menghembuskan asap rokok yang keluar dari mulutnya yang bau tepat di wajah Robert. Membuat semua anak buah Robert yang tersisa terkesiap menodongkan pistol ke kepala pria itu. Begitu juga dengan anak buah pria itu. Mereka langsung maju mendekati Robert dan menodongkan beberapa bilah golok ke leher pria itu.
Marcus langsung terkesiap menghadang. Namun di halangi oleh Robert.
Robert hanya menatap Ziang dengan tatapan dinginnya. Dan Ziang menatap Robert dengan wajah berbinar meledek. Ia merasa yakin akan memenangkan pertarungan itu. Robert bisa membaca maksud Ziang lewat tatapan mata mereka. Robert memberi perintah pada anak buahnya untuk menurunkan senjata. Dan Ziang juga melakukan hal yang sama.
"Apa sebenarnya yang ingin kau katakan?" ucap Robert masih menatap pria itu lurus-lurus.
Ziang tertawa lebar. "Hahahaha! Kau memang pintar Robert. Tak sia-sia kau berasal dari Amerika. Sayangnya istri keduamu yang orang Jepang itu sudah mati ya. Cek cek cek... Kasihan sekali. Kau tak berencana mencari istri ke tiga? Atau mungkin kau bisa kembali dengan istri pertamamu yang juga orang Amerika," ucapnya. Pria itu kemudian memandang Marcus dan berkata. "Benar, bukan? Marcus?"
Marcus mengangkat wajah menggeram menatap pria itu. begitu juga dengan Robert. Mereka berdua mengepalkan tangannya keras-keras. Berharap bisa membunuh orang ini saat itu juga. "Kau pasti akan sangat senang bila kedua orang tuamu ini bisa kembali bersatu, bukan?" tambah Ziang dengan mengangkat alisnya sambil tersenyum miring. Tentu saja Ziang tidak tahu kalau istri pertama Robert pun sudah meninggal dunia. Dan pernyataannya barusan mentulutkan api dalam diri Marcus.
Robert menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Jika kau belum ingin mati, cepat katakan inti ucapanmu! Karena aku tidak segan-segan untuk membunuhmu detik ini juga!" seru Robert dengan nada dingin. Ya, Robert sudah memberikan waktu cukup banyak pada rivalnya ini untuk bicara. Dan ia sudah mulai kehilangan kesabarannya.
"Baiklah," sahut Ziang ringan. Ia membuang puntung rokok lalu menginjaknya. Ia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana sambil menatap Robert. "Apa kau masih ingat kejadian 16 tahun yang lalu?" Robert terkesiap di tempat. Ia tidak pernah melupakan kejadian itu. Kejadian dimana ia harus kehilangan istri tercintanya dan anak yang sangat ia sayangi. Bagaimana pria ini bisa tahu? ya, tentu saja karena dalang di balik penculikan tersebut adalah Ziang. Ia jugalah yang hendak merebut pulau miliknya.
"Ah, tentu saja kau tidak bisa melupakan kejadian itu bukan. Kejadian disaat istrimu mati dan anakmu di culik," desis Ziang tepat di wajah Robert. Tepat pada saat ia selesai mengatakan kata terakhir. Tangan kekar Marcus mencekram lehernya dengan kasar.
"Cepat katakan atau kubunuh kau!" sela Marcus tak sabar. Ia sudah tidak betah melihat kekurang ajaran orang dihadapannya ini.
Robert menaikkan sebelah tangannya. Meminta Marcus untuk berhenti melakukan hal itu. Akhirnya Marcus menurutinya. Ziang memegangi lehernya yang terasa nyeri sambil terbatuk.
"Baiklah, akan aku beritahukan langsung padamu. Tapi ada syaratnya."
"Katakan saja," sahut Robert cepat dengan wajah dingin.
"Kau harus melepaskan aku dan anak buahku setelah ini. Dan kau juga harus menyerahkan hak kepemilikan pulau ini padaku. Bagaimana? Kau setuju?"
Robert mendengus dan tersenyum sinis. "Apa kau sudah gila? Kenapa aku harus melakukan itu?"
"Karena informasi yang akan aku katakan ini sangatlah berharga untukmu Robert. Ini tentang anak laki-lakimu yang kuculik 16 tahun yang lalu. Kau pasti sangat merindukannya, bukan?"
Robert tersentak kaget. Ia memang seorang gangster, tapi keluarga adalah segalanya baginya. Tak dipungkiri, ia sangat menyayangi keluarganya melebihi apapun. Akhirnya Robert menyetujui syarat Ziang.
Pria itu pun menceritakan sebuah rahasia dan anak laki-laki Robert yang berhubungan dengan rencananya selama ini. Setelah Ziang selesai bercerita selang beberapa menit terdengar ke gaduhan lagi dalam gedung tak terpakai itu. Suara tembakan terdengar beberapa kali. lalu sunyi sesaat.
"Marcus, pesan tiket pesawat ke Jepang sekarang. Kita akan berangkat malam ini juga. Dan...cepat telepon Henry. Katakan padanya untuk segera membatalkan pernikahannya dengan Angel." Perintah Robert pada Marcus saat mereka dan anak buahnya mulai memasuki mobil hitam dan melesat pergi meninggalkan gedung penuh mayat tersebut.

****

Posting Komentar Blogger Disqus

 
Top